LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA (Sebuah Tinjauan Kultus Perkabungan Dalam Masyarakat Timor Leste)
Perkara cinta pada hakikatnya mengusung inklusivitas yang tak
terperikan dalam hidup manusia. Ia bisa merembesi segala moment kehidupan, suka
maupun duka, tidak dipilahnya. Ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi
manusia, menuntut pengungkapan dalam aneka cara dan bentuk yang unik untuk
merepresentasikan dirinya.
Dalam realitas kedukaan karena kematian, misalnya, cinta hadir dan
ada di sana
untuk memampukan manusia bertindak dan bersikap secara tertentu. Cinta mengajak
manusia masuk ke dalam permenungan eksistensial berhadapan dengan realitas
kematian pribadi-pribadi tercinta, sambil mengupayakan bagi manusia itu sendiri
suatu modus proporsional untuk menyatakan suasana batinnya. Dalam tataran ini,
cinta adalah power (kekuatan) yang tak terperikan bagi manusia. Cinta
mendukung suasana berkabung manusia secara kreatif dalam aneka bentuk
pengkondisian diri, sikap yang dibuat secara sadar dan bertanggung jawab.
Bertalian dengan soal cinta
sebagai power (kekuatan) dalam suasana perkabungan, maka melalui tulisan
ini saya tertarik untuk mendalami sebuah kultus perkabungan yang diusung oleh
masyarakat Timor Leste sebagai modus pembahasaan cinta. Saya mencoba
mengetengahkan sisi original Lutu Metan dan Kore Metan untuk
memperlihatkan manifestasi cinta sebagai kekuatan yang memampukan orang untuk
bertindak dan bersikap secara tertentu selama hari-hari perkabungan dan post
perkabungan. Di akhir pembahasan, saya juga akan merekomendasikan penilaian
terhadap praktek perkabungan ini dalam terang keyakinan iman Kristen, untuk
menguji apakah menyalahinya atau tidak. Untuk itu, keseluruhan uraian berikut
sangat penting untuk membentuk pemahaman menyeluruh soal kultus perkabungan
ini.
II. LUTU METAN DAN KORE
METAN DALAM BATASAN MAKNA,
SIMBOLISASI DAN RITUS
2. 1. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Batasan Makna
Masyarakat
Timor Leste umumnya sangat akrab dengan istilah Lutu Metan dan Kore
Metan dalam kehidupan mereka. Secara hurufiah, Lutu Metan berarti
pagar hitam, dari kata Lutu yang berarti pagar dan Metan yang
berarti hitam. Sedangkan Kore Metan berarti melepaskan hitam, dari kata Kore
yang artinya melepaskan dan Metan yang berarti hitam. Kedua istilah
ini adalah frasa yang sebenarnya mau merepresentasikan sesuatu makna yang lebih
mendalam untuk dihayati.
Lutu Metan dan Kore Metan
dalam ranah praksis hakikatnya lebih berkenaan dengan moment perkabungan karena
peristiwa kematian seseorang. Dalam arti ini, istilah Lutu Metan dan Kore
Metan digunakan sebagai modus pembahasaan cinta, yang diungkapkan dalam
bentuk-bentuk pengkondisian diri dan sikap tertentu.
2. 2.
Simbolisasi Lutu Metan dan Kore Metan
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai
istilah eksklusif masyarakat Timor Leste untuk membahasakan modus mencinta
dalam suasana perkabungan pada dasarnya disertai pula dengan tanda lahiriah
yang bisa dipersepsi kasat mata. Tanda lahiriah Lutu Metan berupa
pengenaan selembar kain hitam yang biasanya dijepitkan pada saku baju atau
lengan baju, umumnya oleh kaum pria, atau juga dalam versi lain, yaitu kerudung
hitam yang biasa dikenakan oleh kaum wanita. Sedangkan Kore Metan sebagai
puncak dari Lutu Metan, memiliki tanda lahiriahnya berupa penanggalan
kain hitam atau kerudung hitam yang selama jangka waktu tertentu telah
dikenakan. Kore Metan ini pada dasarnya menandai berakhirnya masa
perkabungan.
Tanda-tanda lahiriah sebagaimana
yang telah disebutkan di atas umumnya dikondisikan bagi kerabat dekat pribadi
yang telah “berpulang”, terutama keluarga inti almarhum/almarhuma.
2. 3. Lutu
Metan dan Kore Metan Dalam Tataran Ritus
2. 3. 1. Ritus Lutu Metan
Ritus
Lutu Metan biasanya dibuat pada hari kedelapan (pada malam hari) pasca
kematian seseorang. Namun sebelum ritus ini dibuat, anggota keluarga yang
berduka terlebih dahulu harus merampungkan dua ritus lainnya yang lazim disebut
aifunan midar (bunga manis) dan taka odamatan (tutup pintu).
Maksud kedua ritus tersebut, yaitu bahwa rumah harus dibersihkan dan kemudian
anggota keluarga yang berduka membawa karangan bunga ke kuburan untuk
ditempatkan pada makam pribadi yang telah “berpulang”. Kedua ritus ini dibuat
pada sore hari, sebagai ungkapan kesiap-sediaan beralih kepada ritus Lutu
Metan.
Dalam
ritus Lutu Metan itu akan dibagi-bagikan kain hitam untuk dikenakan,
secara khusus kepada anggota keluarga inti dan anggota kerabat lain yang ingin
berpartisipasi di dalamnya. Lutu Metan normalnya akan dikenakan selama
satu tahun, namun itu tidak menutup kemungkinan juga bila ada anggota keluarga
inti yang ingin memperpanjang masa Lutu Metannya hingga batas waktu
maximum, yaitu tujuh tahun. Penghayatan untuk batas waktu maximum eksklusif
dijalankan secara privat, sehingga pribadi yang bersangkutan akan dikecualikan
pada saat Kore Metan yang diadakan setahun kemudian. Dalam arti bahwa
pribadi tersebut tidak berpartisipasi dalam Kore Metan yang akan dibuat.
Sehubungan
dengan ritus ini, ada pula hal lain yang mesti diperhatikan, yaitu soal
kelayakan umur untuk Lutu Metan. Khusus bagi orang dewasa, Lutu Metan
wajib dikenakan selama satu tahun atau bisa lebih hingga batas waktu
maximum. Sedangkan bagi anak di bawah umur, mereka hanya diwajibkan mengenakan Lutu
Metan selama tiga bulan. Lutu Metan yang mereka kenakan kemudian
dialihkan kepada orang dewasa, biasanya kepada orang tua mereka hingga batas
waktu untuk Kore Metan.
Dengan berakhirnya ritus ini, maka tidak
ada lagi acara jaga malam atau mete. Masing-masing orang secara privat
mulai menjalani hari-hari perkabungan mereka, dengan berbagai macam
pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab.
2. 3. 2. Ritus Kore Metan
Setelah menjalani jangka waktu normal yang
ditetapkan untuk Lutu Metan, maka pada klimaksnya ritus perkabungan berikut
yang harus dirampungkan adalah Kore Metan. Ritus ini diawali
dengan hader aifunan moruk (jaga malam bunga pahit) dan hader
aifunan midar (jaga malam bunga manis). Kedua istilah ini dimaksudkan untuk
mengenang kembali pribadi yang telah “berpulang” setahun yang lalu, semua
pengalaman eksistensial yang pernah diukir bersama dengan almarhum. Untuk
maksud ini, sidang perkabungan yang mengenakan Lutu Metan akan
mengadakan acara mete bersama selama tiga hari berturut-turut, dengan
intensi khusus mendoakan arwah almarhum supaya beristirahat dengan tenteram di
“dunia seberang” dan menjadi pendoa bagi anggota keluarga yang masih hidup.
Pada hari ketiga itulah ritus Kore Metan harus dijalankan.
Ritus Kore Metan yang berarti
melepaskan pagar hitam (Lutu Metan) dimaksudkan untuk melepaskan beban
duka, perkabungan yang telah dijalani selama setahun yang lalu. Realitas ini
mengartikulasikan juga disposisi batin untuk merelakan dengan tulus ikhlas
kepergian pribadi yang telah “berpulang” selama-lamanya, meskipun fakta
fisisnya sudah terjadi setahun yang lalu. Ritus ini ditandai dengan pengumpulan
kembali kain hitam yang selama setahun sudah dikenakan oleh masing-masing orang
sebagai tanda berkabung, dan kemudian disimpan oleh anggota keluarga inti.
Kain-kain hitam itu akan disimpan di dalam oratori (ruangan atau lemari
kecil tempat menyimpan barang-barang kudus: Salib Yesus, patung Bunda Maria,
Kitab Suci, Rosario, dan barang kudus lainnya), di mana anggota keluarga biasa
menjadikannya tempat berdoa.
Dengan berakhirnya ritus ini, maka masa
perkabungan pun berakhir. Mereka yang selama setahun mengenakan Lutu Metan
kini boleh memasuki kembali atmosfir kehidupan yang biasa, dengan keyakinan
iman bahwa almarhum yang mereka cintai itu sudah beristirahat dengan tenteram
di “dunia seberang”. Almarhum juga diyakini akan menjadi perantara doa antara
mereka dengan Sang Khalik, yang bisa memohonkan rahmat Tuhan bagi anggota
keluarga yang masih berziarah di dunia ini.
III. LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA
3. 1. Mencintai Dalam Aneka Bentuk Pengkondisian
Diri Selama Lutu Metan
Mengenakan
Lutu Metan sebagai tanda perkabungan pada hakikatnya membawa konsekuensi
yang mesti ditanggung. Konsekuensi itu adalah macam-macam bentuk pengkondisian
diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, yang akan mewarnai
hari-hari hidup mereka sejak Lutu Metan efektif hingga diadakannya ritus
Kore Metan setahun kemudian. Macam-macam bentuk pengkondisian diri
tersebut antara lain bisa disebutkan sebagai berikut:
- Mereka
yang mengenakan Lutu Metan biasanya dikondisikan untuk tidak
bersenang-senang dalam keseharian hidupnya. Kenyataan seperti ini secara
kasat mata bisa diamati tatkala mereka menghadiri acara-acara tertentu,
sebagai misal dalam acara pesta pernikahan. Mereka yang mengenakan Lutu
Metan biasanya tidak berlama-lama di tempat tersebut, apalagi
berpartisipasi dalam acara “dansa” yang acapkali diklaim sebagai puncak
dari acara pesta tersebut.
- Khusus
bagi suami atau istri yang pasangannya telah berpulang mendahuluinya,
selama mengenakan Lutu Metan ia akan rela menjalani hari-hari
kesendiriannya tanpa banyak berpikir untuk menikah lagi atau mencari
pasangan hidup yang baru.
- Mereka
secara rutin akan mengunjungi makam almarhum untuk menabur bunga.
- Mengadakan
doa bersama dalam keluarga untuk memohon keselamatan arwah almarhum.
- Menjauhi
amarah dan pertengkaran. Dalam arti bahwa mereka harus selalu mengusahakan
keharmonisan dalam hidup bersama, secara ke dalam maupun dengan orang
lain.
Semua bentuk pengkondisian diri yang disebutkan
ini selain diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, namun serentak pula
mengandung nilai keutamaan, yaitu sebagai modus pembahasaan rasa cinta mereka
terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Mereka mengkondisikan diri sedemikian
rupa selama hari-hari Lutu Metan karena cinta kasih yang menenun
kebersamaan hidup dengan pribadi yang telah “berpulang” diakui tidak dapat
dilupakan begitu saja dalam arus waktu yang bergulir.
3. 2. Mencintai Dengan Sikap Batin Dalam Upacara Kore
Metan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa
berbagai bentuk pengkondisian diri selama Lutu Metan dimotivisir oleh
rasa cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, maka hal yang
sama pun dihayati dalam Kore Metan. Kore Metan sedianya dilakukan
juga sebagai ungkapan cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah
“berpulang”, yang dibahasakan secara unik dalam sikap merelakan secara tulus
ikhlas “kepergian” orang yang dicintai selama-lamanya, meskipun secara kasat
mata telah terjadi setahun yang lalu. Mereka yang berpartisipasi dalam Lutu
Metan ini, didorong oleh rasa cinta yang mendalam, meyakini bahwa suatu
saat nanti akan ada penyatuan kembali antara mereka dan pribadi yang telah
“berpulang” dalam suatu bentuk kehidupan definitif tanpa kematian sesudah
kehidupan fana di dunia ini. Keyakinan ini akan membuat mereka senantiasa
berkanjang dalam kerinduan dan pengharapan hingga ajal menjemput mereka untuk
merealisir keyakinan tersebut.
Hal yang diuraikan ini juga sebenarnya mau
menegaskan bahwa Kore Metan yang dijalankan hakikatnya bukanlah upaya
untuk memutuskan tali hubungan antara mereka yang masih hidup dengan pribadi
yang sudah “berpulang”, melainkan suatu tahap di mana mereka yang masih hidup
harus menerima realitas keberpisahan yang telah terjadi setahun yang lalu
dengan lapang dada. Dengan dimungkinkan oleh cinta, Kore Metan pun serta
merta akan menjadi ajang memupuk kerinduan dan harapan yang mengilhami
penyatuan di masa depan, realitas kehidupan baru yang akan mereka alami bersama di “dunia seberang”.
Sampai pada titik ini, jelaslah bahwa hal
kematian bagi orang Timor Leste bukanlah sekedar situasi batas dramatis yang
mengharukan, melainkan juga menginspirir keyakinan akan adanya kemungkinan
kehidupan lain (iman akan kebangkitan) pasca kehidupan fana di muka bumi
ini. Dalam tataran inilah Kore Metan memainkan peranan penting untuk
menyadarkan mereka yang berkabung bahwa kematian bukanlah akhir dari
segala-galanya.
IV. LUTU METAN DAN KORE METAN TIDAK
BERTENTANGAN DENGAN KEYAKINAN IMAN KRISTEN
Kultus
perkabungan masyarakat Timor Leste yang diungkapkan dalam bentuk Lutu Metan
dan Kore Metan pada dasarnya tidak bertentangan dengan keyakinan iman
Kristen. Hal ini bisa dilihat dari dimensi utama yang mau ditekankan melalui
kultus itu, yaitu sebagai modus pembahasaan cinta terhadap orang-orang yang
telah meninggal.
Lutu
Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta tentunya
proporsional dengan model mencinta yang luhur dalam keyakinan iman Kristen,
yaitu “agape”. Secara teologis, kata ini pertama-tama dipakai untuk
membahasakan cara mencinta yang dilakoni Tuhan dalam kerangka rencana
penyelamatan-Nya, yang diwahyukan dalam hidup, wafat dan kebangkitan Yesus
Kristus. Berdasarkan teladan mencinta Tuhan ini, maka manusia pun dituntut
untuk berkanjang dalam cinta yang sama dalam relasi-relasinya, baik dengan
Tuhan maupun dengan sesama umat manusia.
Dalam tataran hidup manusiawi, “agape” itu
sendiri sesungguhnya adalah kekuatan yang dapat memungkinkan dan mengubah
bentuk dan cara hidup seseorang. Dengannya manusia akan dimampukan untuk
bertindak secara bebas dan sengaja, dan bukan hanya merasa dalam cara tertentu
saja. “Agape” ini adalah model mencinta tanpa kalkulasi untung dan rugi,
diberikan secara bebas tanpa sehelai tali keterikatan dalam bentuk apa pun,
penuh pengorbanan dan penyerahan diri. Sebab itu, layaklah bila “agape” kemudian
dilihat sebagai ikon dari segala model mencinta, yang mencontohi cara mencinta
Tuhan sendiri dalam sejarah penyelamatan-Nya terhadap umat manusia.
Model mencinta seperti inilah yang kiranya
juga diperlihatkan dalam kultus perkabungan masyarakat Timor Leste sebagaimana
telah dipaparkan di atas. Dalam aneka bentuk pengkondisian diri yang dilakoni
selama Lutu Metan, mereka yang berkabung mencoba mengartikulasikan suasana
batinnya, rasa cintanya yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”.
Bagi mereka, macam-macam bentuk pengkondisian diri seperti itu adalah media
yang paling tepat untuk mencurahkan rasa cintanya, perasaan eksistensial yang
menuntut pengungkapan terhadap orang yang dicintainya kendatipun maut telah
memisahkan mereka.
Dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas
“kepergian” orang yang dicintai untuk selama-lamanya pada upacara Kore Metan,
mereka yang berkabung juga sebenarnya mengungkapkan perasaan cinta yang sama
dalam bentuk kesadaran, bahwa realitas “keberpisahan” itu sudah selayaknya
diterima sebagai konsekuensi logis dari kefanaan hidup manusia di muka bumi
ini. Dengan mengusung kesadaran semacam ini dan didorong oleh perasaan cinta,
mereka juga akhirnya memaknai lebih lanjut bahwa kematian itu pada dasarnya
bukanlah akhir dari segala-galanya. Atau tepatnya seperti yang acapkali
diprefasikan dalam misa arwah bahwa dalam kematian “hidup hanyalah diubah,
bukannya dilenyapkan”. Karena itu, iman akan kebangkitan pun
turut mewarnai sikap batin dalam Kore Metan.
Berdasarkan tinjauan ini, maka bisa
dikatakan bahwa Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus
pembahasaan cinta pada dasarnya masih mengikuti pola keyakinan iman Kristen,
yaitu tentang model mencinta yang paling luhur, yaitu cinta agape dan juga
keyakinan akan hidup sesudah mati sebagai “saat” beralih kepada kehidupan
definitif.
V. PENUTUP
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan
cinta dalam suasana perkabungan pada hakikatnya mau menampilkan inklusivitas
cinta yang tak terbendung dalam totalitas hidup manusia. Cinta tak mengenal limit,
ruang dan waktu, karena ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia. Ia
hadir dan ada bersama manusia dalam keseluruhan suasana, suka maupun duka,
sehingga memampukan manusia untuk bertindak dan bersikap secara tertentu.
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan
cinta implisit tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristiani. Hal ini
terungkap dalam dimensi yang mau ditekankan, yaitu soal pembahasaan cinta itu
sendiri. Dalam Lutu Metan dan Kore Metan, masyarakat pengusung
kultus perkabungan ini sebenarnya mempraktekkan model mencinta yang sangat
luhur sebagaimana dihayati dalam keyakinan iman kristen, yaitu “cinta agape”.
Dalam keyakinan iman Kristen, model mencinta ini sebenarnya mengikuti pola
mencinta Tuhan sendiri kepada umat-Nya. “Cinta agape” itu adalah cinta yang
lepas bebas, tanpa kalkulasi, dan akhirnya lebih sebagai penyerahan diri demi
sesuatu nilai baik yang mau dikejar. Bermodalkan model mencinta ini, Lutu
Metan dan Kore Metan pun akhirnya menginspirir iman akan kebangkitan
bagi masyarakat Timor Leste sebagai saat beralih kepada kehidupan definitif,
kerinduan dan harapan penyatuan di “dunia seberang”.
Demikianlah Lutu Metan dan Kore
Metan sebagai modus pembahasaan cinta mewarnai praktek perkabungan dalam
masyarakat Timor Leste, yang masih tetap lestari hingga kini karena jiwa utama
penghayatannya terus ditradisikan dari generasi ke generasi.