Logo Design by FlamingText.com
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

Etnics Suku Di Papua

Propinsi Irian Jaya atau Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.

Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.

Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:

    Ansus
    Amungme
    Asmat
    Ayamaru, mendiami daerah Sorong
    Bauzi
    Biak
    Dani
    Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken
    Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari
    Iha
    Kamoro
    Mandobo/Wambon
    Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai
    Meyakh, mendiami Kota Manokwari
    Moskona, mendiami daerah Merdei
    Nafri
    Sentani, mendiami sekitar danau Sentani
    Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw
    Waropen
    Wamesa
    Muyu
    Tobati
    Enggros
    Korowai
    Fuyu

Salah satu senjata tradisional di Papua adalah Pisau Belati. Senjata ini terbuat dari tulang kaki burung kasuari dan bulunya menghiasi hulu Belati tersebut. senjata utama penduduk asli Papua lainnya adalah Busur dan Panah. Busur tersebut dari bambu atau kayu, sedangkan tali Busur terbuat dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu atau tulang kangguru. Busur dan panah dipakai untuk berburu atau berperang.

Berikut Foto Masyarakat Adat papua dari suku Asmat yang ada hingga saat ini :





















Ilmu Ghaib dari suku dayak Paser

 
Paser (masyarakat biasa menyebut Pasir) merupakan salah satu suku asli Kalimantan selain Kutai, Dayak, Tidung, Banjar dan Melayu. Kemungkinan masih satu rumpun dengan Dayak karena dari segi bahasa,dan adat istiadat masih ada kesamaan.Suku Paser banyak di temui di daerah Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).Suku Paser sendiri terdiri lagi sub-sub suku, seperti :
  • Paser Pematang di daerah Sadurangas / Benuo, Seratai ;
  • Paser Telake di daerah Olong Telake, Longkali, Pinang Jatus, Olong Gelang, Pias, dll ;
  • Paser Hadang di daerah Hadang ; 
  • Paser Modang di daerah Modang ; 
  • Paser Migi ; 
  • Paser Mayang ; 
  • Paser Balik yang merupakan penduduk asli Balikpapan, dll.
Kebudayaan Paser sendiri bercampur dengan kebudayaan kesultanan, karena dulunya ada Kesultanan Paser yang berpusat di Sadurangas/Benuo/ Belengkong di daerah Sungai Kandilo.
Menurut Sempuri (cerita rakyat Paser), Islam masuk ke Paser sekitar tahun 100 an Hijriah dibawa oleh Tuan Guru dari Yaman. Menurut Sempuri, sejarah tua Paser bersal dari kehidupan purba di sungai Telake, dengan tokoh2 nya Datu’, Nalau dan Ayus. Nah dari orang-orang ini konon menurunkan suku-suku Paser, Kutai, Dayak.
Juga menurt Sempuri, Kerajaan Tua Paser dengan Rajanya Tuo Ono’ terdapat di daerah sungai Telake. Setelah Islam masuk berdiri Kesultanan Paser dengan raja nya yang pertama seorang perempuan yang di sebut Putri Botung / Petung, yang semula berpusat di Lempesu, lalu pindah ke Benuo.
Dari suku Paser, adat - adat yang mirip dengan dayak seperti :
  • Belian : ritual utk peyembuhan massal yang dilakukan oleh seorang atau sepasang Mulung (org yg melakukan Belian).
  • Besipung : semacam opera atau sandiwara ghaib, yg di adakan di dalam Lou Olai (Rumah besar) yang gelap, dimana seorang tetua adat memanggil roh - roh orang - orang dulu yang merupakan pelaku sejarah sehingga terjadilah sandiwara yang dpt di dengar oleh orang-orang yg hadir.
Lemu (ilmu ghaib) yang sering terdengar di suku Paser :
  1. Parang Maya : menggunakan tangan seperti parang / mendau.
  2. Pedang pekir: menggunakan jari telunjuk seperti pedang.
  3. Pedang kendali : melempaskan/ melemparkan senjata, setelah sasaran tertumpas semua, maka senjata akan kembali ke pemiliknya,. lemu ini yang dulu di guanakan Panglima Sentik ketika menumpas seluruh gerombolan Bajak Laut di sekitar perairan Balikpapan.
  4. Cuca’ peruntus: menghancurkan organ2 dalam tubuh.
  5. Cuca’ mayat: membuat org menjadi hidup seperti mayat. 
  6. Cuca’ bangkai : menbuat org mebusuk.
  7. Lemu Selisih, Kuyar Mais, Lowong Botuk, Polong, dll.
Ini salah satu pelet versi paser : Loking torik olo buo Malan alas damu royan Bolum berik mono kito Lupo mangun delap beam
untuk tangkal guna2 dengan cara ilmu dayak caranya ambil batang rotan yg kulitnya agak mnghitam,ambil bambu kuning pas bulan purnama ke 1 ikat dengan benang sutra panjang 1 jengkal tanganmu 9 warna lalu ikat dengan pita merah seindah mungkin,bungkus dengan kain sutra kuning,cukup dikantongi dibawa kemana - mana maka tak akan terkena apa - apa.
Balian ialah Tokoh Spiritual Suku Dayak.Dalam istilah Dayak,ilmu itu disebut sebagai Lemu,namun sangat jarang yang mengungkap tentang Lemu yang ada seperti yang tersohor dan ter ekspose keluar ialah kehebatan Minyak Pelet Dayak:
  1. Minyak Hadangan,
  2. Minyak Pitunduk, 
  3. Minyak Sinyong nyong, 
  4. Minyak Buronq Buta (Bambu Buta) , 
  5. Minyak Bulu Perindu (Gunung Bondang) 
dan minyak lainnya:
  • Minyak Bumi (buat tangkal dan pengobatan) 
  • Minyak Bintang ( buat anti celaka/mati dan pengobatan)
hal lainnya yang mantap ialah:
  • Mandau Batu yang bajanya bisa lemas dan layaknya samurai bisa dibengkokkan;
  • Kalung Manik-manik bernuansakan magis;
  • Piring antik basah (anti kebakaran);
  • Guci-guci keramat Mandau Maya, versi dayak : (parang beneran yg diterbangkan ribuan jin/roh-roh untuk membunuh orang) sehingga terkadang tidak ada belas kasihan( karena yang membawa adalah JIN). versi melayu (islam) : dengan menggunakan tangan yang di ibaratkan tangan maka sejauh mata memandang musuh- musuh bisa ditebas( hanya di dalam tubuhnya ), kalau ini pernah dicoba oleh paman dari sumber tetapi dicoba dengan buah pisang yang ditimpas/ditebang dari jauh dengan tangan lalu setelah kulit pisangnya di buka maka keliatanlah kalau buahnya sudah terbelah ( bayangin kalau sasaranya badan orang, bakalan putus jantungnya dan mati ). rata -rata masyarakat islam melayu di kalimantan mempunyai ilmu ini.
Mandau batu merupakan bahan mandaunya berasal dari besi yang terkandung di dalam batu kali, di Kalimantan Tengah sendiri ada dua aliran sungai yang menjadi asal batu tersebut yang biasanya di sebut Sanaman Mantikei ( asal dari sungai Mantikei berada di Kabupaten Katingan ) dan Sanaman Montalat ( asal dari sungai Montalat berada di Kabupaten Barito Utara ) ciri besi ini berbentuk cair ( semacam otak dari batu ) itu saja yang diketahui oleh sumber.
Maaf kalau OOT sekedar pengetahuan.Ritual – ritual suku dayak :
  • Ritual Balian Tolak Bala/Penyakit ( sewaktu terjadi wabah muntaber tahun 1974 ) .
  • Ritual Tiwah ( dimana ada kerbau dikejar bersama dan ditusuk ).
  • Ritual Tattoo Dayak yang termasyhur itu ( pemain band dunia sampai datang minta itu ).
sesungguhnya Tiwah merupakan Upacara Terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan ( Kaharingan merupakan agama asli masyarakat Dayak ), dan ini bukanya memanggil roh leluhur, demikian sesungguh adanya dan semoga menjadi pengetahuan kita semua.
Tambahan :
Kalimat tentang adanya kesaktian/kepercayaan tidak saja hanya dipakai sebagai hiasan kesusastraan belaka melainkan dapat dipandang sebagai pendapat yang berakar-akar dalam bumi kepercayaan bangsa Indonesia, dari masa lampau sampai sekarang masih mempercayai akan adanya benda halus yang bernama kesaktian, termasuk pengetahuan bathin orang-orang Dayak.
Adapun nama-nama pengetahuan bathin orang-orang Dayak tersebut diantaranya sebagai berikut:
  1. Parang-maya, yaitu orang yang kena mati badan separo, atau leher seakan-akan ada bekas luka, atau tangan mendadak tak bisa bergerak, atau badan biru, tangan sepotong.
  2. Pipit Berunai, yaitu semacam binatang kecil seperti busuk dipelihara dalam botol, dikasih makan timah atau waja/besi, menurut kepercayaan binatang tersebut dapat diperintahkan menyerang musuh. 
  3. Tumbak Gahan, yaitu pengetahuan ini biasanya terdapat di daerah Barito Selatan, Barito Timur dan Pasir (Tanah Grogot/Tana Paser).
  4. Awoh, yaitu khusus pengetahuan untuk membengkak atau merusak mata jadi buta, atau koreng yang tak dapat diobati lagi, daging lepas-lepas.
  5. Kiwang, Kibang, Pakihang, yaitu khusus untuk memelihara kebun, ladang, rumah dll, orang yang terkena dapat bengkak, sakit perut, buang air besar mendadak, badan lemas. Ada juga yang dinamai Pakihang Leket, orang yang terkena lemas tak dapat berjalan/berpindah tempat.
  6. Panikam Jantung, yaitu khusus kekuatan bathin menikam jantung, orang terus hilang nafas dan kelihatan bekas dibelakang atau didepan bersamaan tempat jantung.
  7. Petak Malai, yaitu tanah malai, tanah yang berkhasiat untuk menjinak binatang-binatang yang liar, menjinak manusia. Tanah ini didapat dari Bukit Bondang, Bukit Raya, Bukit Kaminting, Gunung Kelam dan disungai Samba dekat kampung jala hulu sungai Katingan. 
  8. Dll.. (sumber Kalimantan Membangun)
Panah terong adalah ilmu gaib yang memanfaatkan terong susu (buah terong yang ada benjolannya mirip payudara wanita), buahnya sudah langka dan mungkin hanya ada di kalimantan. Kemudian terong ini ditusuk pakai kayu yang dibentuk menjadi panah. Kayunya diambil dari pohon beringin yang angker. Lalu dipanahkan ke arah sasaran. Akibatnya pada korban adalah akan sakit bisul biasanya dikepala yang sakitnya luar biasa, dan gak bakal sembuh-sembuh, apabila terong yang dipanahkan tersebut sudah busuk dan pecah, maka pecah pulalah bisulnya yang kemudian disusul dengan meninggalnya sang korban.Budaya supranatural Dayak, Khmer / Kampuchea /kamboja , bahkan Thai/Siam ialah hampir sama dan mirip. Jika pada saat ini sedang maraknya Sak Yant ( Tattoo Rajahan ala Thai ) maka pada suku Dayak itu dari jaman dahulu kala sudah ada. Bahkan Tattoo Mistik Dayak dinyatakan yang paling tua walau sederhana bentuknya sehingga seorang pemain Band tingkat dunia berkenan langsung datang ke pedalaman Kalbar untuk memasang Tattoo Dayak di badannya orang Thai, Khmer, Melayu, Dayak, sama-sama suka Nyirih (daun sirih)
Ada lagi ilmu dari dayak untuk mengetahui aroma bau tubuh manusia dari suku tertentu di indonesia yaitu para dukun di pedalaman mencari perempuan hamil dari suku A yang berusia 7 bulan, setelah ibunya dimatikan sedangkan anak 7 bulan diambil untuk dilaksanakan ritual diambil darahnya ditempatkan dikuali setelah itu ritual dengan anak buahnya [ biasanya panglima perang dengan anak buahnya ] setelah selesai didoakan [dimantrai] masing -masing peserta meminum darah tersebut, maka hasilnya maknyus dan mantap karena para peserta tersebut dapat mencium aroma tubuh atau keringat dari suku A tersebut.
Jenis- jenis ilmu hitam suku dayak misalnya :
  1. Pukulan Berat Bumi = itu efeknya kalau terkena kita membuat badan jadi berat,karena beratnya kaki kita bisa patah untuk mengangkat badan kita sendiri. bisa juga langsung lumpuh se umur hidup.
  2. Panah Lombok = itu di kirim tengah malam lewat udara,yang kena bisa mati kepedasan atau dari badan kita bisa keluar lombok/cabe.
  3. Panah terong = sama seperti di atas,tapi bedanya jika kena ini bisa badan kita jadi ungu seperti terong dalam 3 hari yakin deh pasti mati.
  4. Bulu Perindu = bulu yang di simpan,buat menikahi anak orang,yakin pasti di terima oleh wanita incaran, bulunya di rendam dalam air lalu di minumkan kepada wanita tersebut.
  5. Mandau menangis = (Punya keluarga sumber). kata kakek kakeknya si sumber. mandau itu menangis karena di dalamnya ada roh-roh musuh perang dulu yang terjebak di dalamnya.
Sembilan Ilmu Hitam Khas Suku Dayak :
  1. Tinju Sembilan Pintu : Pukulanmu jadi kuat,sekali pukul bisa mati.
  2. Ajian Berat Bumi : Badanmu di buat berat dan akhirnya tulangmu gak bisa menahan beban tubuhmu, tulangmu patah semua dan akhirnya mati.
  3. Panah Terong : sejenis santet seperti di jawa, kita mengirimnya dimalam hari, bagi siapa yang kena,badan kita menjadi ungu seperti terong, dalam jangka 3 hari pasti mati jika tidak cepat di obati. 
  4. Panah Lombok : Sejenis santet juga, jika terkena badan kita akan merah dan kita merasa kepedasan.. kita akan haus terus tetapi selalu kepedasan,tubuhmu akan lama kelamaan menjadi lemas dan dalam jangka waktu paling lama 1 minggu pasti mati.
  5. Bulu Perindu : sejenis barang gaib,di pakai untuk menaklukkan lawan jenis yang kita inginkan,jika ada yang jual itu pasti PALSU!!! karena di tidak bisa diperdagangkan,benda ini di ambil dari dunia gaib. 
  6. Minyakbintang : minyak gaib yang di pakai untuk menyembuhkan patah tulang,dalam seminggu pasti tulang akan tersambung separah apapun patahnya.
  7. Kalung Babi : barang gaib yang di ambil bila kita bertarung melawan siluman babi yang tinggal di pedalaman hutan kalimantan.Berguna bagi para preman karena kita akan kebal bacok, peluru dan ancaman benda tajam apapun.Tapi efek sampingnya kita akan terkena panu tanpa bisa disembuhkan. 
  8. Mandau Siluman : Bisa mencari musuh di manapun berada dengan target memutuskan kepala musuh.(Contohnya cerita tragedi sampit )
  9. Balsem Jahat : Balsem yang di taruh di benda yang sering di gunakan oleh target kita,dalam kurang dari 4 hari pasti mati dengan diagnosa serangan jantung.
"TAPI INGAT.. SEMAKIN TINGGI ILMU HITAM YANG DI AMBIL, SEMAKIN SIAL JUGA HIDUP KITA. Karena TUHAN TIDAK SUKA JIKA ADA ANAK2NYA YANG BERSEKUTU DENGAN SETAN. "
Mandau adalah senjata sejenis parang dengan panjang kira-kira 1/2 meter. Biasanya hulu mandau diberi ukiran burung enggang dengan hiasan rambut manusia. Mandau dibuat oleh pandai besi yang memiliki ilmu gaib. Mandau terdiri dari dua maca, yaitu mandau tampilan dan mandau biasa. Mandau tampilan biasaya digunakan untuk perang dan upacara. Sementara mandau biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Mandau asli harganya dimulai dari Rp. 1.000.000. Mandau asli yang berusia tua dan memiliki besi yang kuat bisa mencapai harga Rp. 20.000.000 /bilah. Mandau untuk cideramata biasanya bergagang kayu, harganya berkisar Rp. 50.000 hingga Rp. 300.000 tergantung dari besi yang digunakan. Mandau asli mempunyai penyang, penyang adalah kumpulan-kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal dalam menghadapi musuh.Mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur

BUDAYA DAN SENI TIMOR LESTE


 

BUDAYA DAN SENI

1. Seni Tari
Di Distrik Dili terdapat beberapa tarian daerah yang mempesona. Tarian-tarian tersebut antara lain : Tari Lorsa, Tari Simu Surik, Tari Boot, Tari Likurai, Tari Tebe-Tebe, dan Tari Folklore. Tari Likurai lebih popular sampai ditingkat nasional, tarian ini dilakukan untuk menyambut para prajurit yang baru pulang dari medan pertempuran dan juga untuk menyambut Tamu Agung yang datang. Selain itu jenis tari yang menonjol dan sangat digemari generasi muda di Dili adalah “ folklore “ yaitu bentuk tari pengaruh dari Portugal, yang telah merakyat di Dili.

2. Seni Sastra
Seni sastra yang berkembang didalam Masyarakat Dili dan Timor Leste umumnya dan masih dilestarikan sampai sekarang adalah kanunuk ( Pantun ), Dadolik ( Puisi ), Aknanoik ( Cerita ), Baitoa ( Nyanyian Sedih ). Jenis-jenis ini adalah sastra lisan yang dituturkan oleh seorang Makoa pada acara adat tertentu. Mengenai Kanunuk, ada berbagai macam jenisnya, diantaranya pantun yang menjadi bagian dari suatu tarian, adapula pantun yang untuk bersahut-sahutan yang dilakukan oleh para muda-mudi pada acara tertentu. Adapun Dadolik, adalah bentuk sastra yang bersifat sangat ritual, digunakan untuk memuja para leluhur. Aknanoik, adalah cerita rakyat yang dituturkan oleh Makoa atau oleh orang-orang tua. Cerita tersebut umumnya berisi mitos, kepercayaan, dan asal-usul nenek moyang masyarakat setempat.

3. Seni Kerajinan dan Industri kecil
Seni dan kerajinan industri kecil yang ada di Dili antara lain:
Gerabah, Marmer, Keramik, Kerajinan anyaman dari tari agel, aneka kerajinan dari daun pandan dan lontar, tenun ikat yang hasilnya disebut kain "Tais", aneka ukiran dari kayu dan lainnya.

4. Seni Suara
Bentuk seni musik yang paling kuno di distrik Dili adalah Maloi dan kore-metan. Maloi adalah nama suatu jenis nyanyian, yang diiring dengan alat musik Lakadou (alat musik yang di buat dari bambu). Dapat juga di iringi dengan alat musik kakeit(alat musik dari logam/bambu) yang dimainkan dengan mulut dan jari.
Yang terkenal hingga sekarang adalah "kore-metan". Sebenarnya "kore-metan" adalah nama upacara adat yang menandai selesainya masa berkabung bagi suatu keluarga selama 1 tahun sebagai masa berkabung karena salah seorang anggota keluarga dekat meninggal. "Kore" berarti melepaskan, "Metan" berarti hitam. Jadi "kore-metan" adalah upacara melepaskan kain hitam yang dipakai oleh sekelompok keluarga. Musik ini mula-mula adalah musik upacara adat dalam melepaskan kain hitam. Adalah suatu kepercayaan yang turun-temurun berlaku tidak hanya di Dili saja tetapi diseluruh Timor Leste bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka jiwanya belum dapat berpindah ke alam lain sebelum diadakan upacara pelepasan oleh keluarganya. Musik ini diiringi oleh alat musik seperti : biola, gitar, okolele, babadok bandolin dan tambur.

5. Permainan Rakyat
Permainan rakyat masyarakat Dili pada umumnya menyukai kuru-kuru (permainan dadu) dan sabung ayam adalah permainan tradisi dari zaman Nenek Moyang dulu sampai sekarang. Permainan ini dapat di jumpai di setiap desa, maupun kecamatan

LUTU METAN DAN KORE METAN Di Timor Leste

LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA (Sebuah Tinjauan Kultus Perkabungan Dalam Masyarakat Timor Leste)



I. PENDAHULUAN
Perkara cinta pada hakikatnya mengusung inklusivitas yang tak terperikan dalam hidup manusia. Ia bisa merembesi segala moment kehidupan, suka maupun duka, tidak dipilahnya. Ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia, menuntut pengungkapan dalam aneka cara dan bentuk yang unik untuk merepresentasikan dirinya.

Dalam realitas kedukaan karena kematian, misalnya, cinta hadir dan ada di sana untuk memampukan manusia bertindak dan bersikap secara tertentu. Cinta mengajak manusia masuk ke dalam permenungan eksistensial berhadapan dengan realitas kematian pribadi-pribadi tercinta, sambil mengupayakan bagi manusia itu sendiri suatu modus proporsional untuk menyatakan suasana batinnya. Dalam tataran ini, cinta adalah power (kekuatan) yang tak terperikan bagi manusia. Cinta mendukung suasana berkabung manusia secara kreatif dalam aneka bentuk pengkondisian diri, sikap yang dibuat secara sadar dan bertanggung jawab.
Bertalian dengan soal cinta sebagai power (kekuatan) dalam suasana perkabungan, maka melalui tulisan ini saya tertarik untuk mendalami sebuah kultus perkabungan yang diusung oleh masyarakat Timor Leste sebagai modus pembahasaan cinta. Saya mencoba mengetengahkan sisi original Lutu Metan dan Kore Metan untuk memperlihatkan manifestasi cinta sebagai kekuatan yang memampukan orang untuk bertindak dan bersikap secara tertentu selama hari-hari perkabungan dan post perkabungan. Di akhir pembahasan, saya juga akan merekomendasikan penilaian terhadap praktek perkabungan ini dalam terang keyakinan iman Kristen, untuk menguji apakah menyalahinya atau tidak. Untuk itu, keseluruhan uraian berikut sangat penting untuk membentuk pemahaman menyeluruh soal kultus perkabungan ini.
II. LUTU METAN DAN KORE METAN DALAM BATASAN MAKNA, SIMBOLISASI DAN RITUS
 2. 1. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Batasan Makna
                Masyarakat Timor Leste umumnya sangat akrab dengan istilah Lutu Metan dan Kore Metan dalam kehidupan mereka. Secara hurufiah, Lutu Metan berarti pagar hitam, dari kata Lutu yang berarti pagar dan Metan yang berarti hitam. Sedangkan Kore Metan berarti melepaskan hitam, dari kata Kore yang artinya melepaskan dan Metan yang berarti hitam. Kedua istilah ini adalah frasa yang sebenarnya mau merepresentasikan sesuatu makna yang lebih mendalam untuk dihayati.

            Lutu Metan dan Kore Metan dalam ranah praksis hakikatnya lebih berkenaan dengan moment perkabungan karena peristiwa kematian seseorang. Dalam arti ini, istilah Lutu Metan dan Kore Metan digunakan sebagai modus pembahasaan cinta, yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pengkondisian diri dan sikap tertentu.
2. 2. Simbolisasi Lutu Metan dan Kore Metan
            Lutu Metan dan Kore Metan sebagai istilah eksklusif masyarakat Timor Leste untuk membahasakan modus mencinta dalam suasana perkabungan pada dasarnya disertai pula dengan tanda lahiriah yang bisa dipersepsi kasat mata. Tanda lahiriah Lutu Metan berupa pengenaan selembar kain hitam yang biasanya dijepitkan pada saku baju atau lengan baju, umumnya oleh kaum pria, atau juga dalam versi lain, yaitu kerudung hitam yang biasa dikenakan oleh kaum wanita. Sedangkan Kore Metan sebagai puncak dari Lutu Metan, memiliki tanda lahiriahnya berupa penanggalan kain hitam atau kerudung hitam yang selama jangka waktu tertentu telah dikenakan. Kore Metan ini pada dasarnya menandai berakhirnya masa perkabungan.
            Tanda-tanda lahiriah sebagaimana yang telah disebutkan di atas umumnya dikondisikan bagi kerabat dekat pribadi yang telah “berpulang”, terutama keluarga inti almarhum/almarhuma.
2. 3. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Tataran Ritus   
2. 3. 1. Ritus Lutu Metan
            Ritus Lutu Metan biasanya dibuat pada hari kedelapan (pada malam hari) pasca kematian seseorang. Namun sebelum ritus ini dibuat, anggota keluarga yang berduka terlebih dahulu harus merampungkan dua ritus lainnya yang lazim disebut aifunan midar (bunga manis) dan taka odamatan (tutup pintu). Maksud kedua ritus tersebut, yaitu bahwa rumah harus dibersihkan dan kemudian anggota keluarga yang berduka membawa karangan bunga ke kuburan untuk ditempatkan pada makam pribadi yang telah “berpulang”. Kedua ritus ini dibuat pada sore hari, sebagai ungkapan kesiap-sediaan beralih kepada ritus Lutu Metan.

            Dalam ritus Lutu Metan itu akan dibagi-bagikan kain hitam untuk dikenakan, secara khusus kepada anggota keluarga inti dan anggota kerabat lain yang ingin berpartisipasi di dalamnya. Lutu Metan normalnya akan dikenakan selama satu tahun, namun itu tidak menutup kemungkinan juga bila ada anggota keluarga inti yang ingin memperpanjang masa Lutu Metannya hingga batas waktu maximum, yaitu tujuh tahun. Penghayatan untuk batas waktu maximum eksklusif dijalankan secara privat, sehingga pribadi yang bersangkutan akan dikecualikan pada saat Kore Metan yang diadakan setahun kemudian. Dalam arti bahwa pribadi tersebut tidak berpartisipasi dalam Kore Metan yang akan dibuat.

        Sehubungan dengan ritus ini, ada pula hal lain yang mesti diperhatikan, yaitu soal kelayakan umur untuk Lutu Metan. Khusus bagi orang dewasa, Lutu Metan wajib dikenakan selama satu tahun atau bisa lebih hingga batas waktu maximum. Sedangkan bagi anak di bawah umur, mereka hanya diwajibkan mengenakan Lutu Metan selama tiga bulan. Lutu Metan yang mereka kenakan kemudian dialihkan kepada orang dewasa, biasanya kepada orang tua mereka hingga batas waktu untuk Kore Metan.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka tidak ada lagi acara jaga malam atau mete. Masing-masing orang secara privat mulai menjalani hari-hari perkabungan mereka, dengan berbagai macam pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab.
2. 3. 2. Ritus Kore Metan
Setelah menjalani jangka waktu normal yang ditetapkan untuk Lutu Metan, maka pada klimaksnya ritus perkabungan berikut yang harus dirampungkan adalah Kore Metan. Ritus ini diawali dengan hader aifunan moruk (jaga malam bunga pahit) dan hader aifunan midar (jaga malam bunga manis). Kedua istilah ini dimaksudkan untuk mengenang kembali pribadi yang telah “berpulang” setahun yang lalu, semua pengalaman eksistensial yang pernah diukir bersama dengan almarhum. Untuk maksud ini, sidang perkabungan yang mengenakan Lutu Metan akan mengadakan acara mete bersama selama tiga hari berturut-turut, dengan intensi khusus mendoakan arwah almarhum supaya beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang” dan menjadi pendoa bagi anggota keluarga yang masih hidup. Pada hari ketiga itulah ritus Kore Metan harus dijalankan.

Ritus Kore Metan yang berarti melepaskan pagar hitam (Lutu Metan) dimaksudkan untuk melepaskan beban duka, perkabungan yang telah dijalani selama setahun yang lalu. Realitas ini mengartikulasikan juga disposisi batin untuk merelakan dengan tulus ikhlas kepergian pribadi yang telah “berpulang” selama-lamanya, meskipun fakta fisisnya sudah terjadi setahun yang lalu. Ritus ini ditandai dengan pengumpulan kembali kain hitam yang selama setahun sudah dikenakan oleh masing-masing orang sebagai tanda berkabung, dan kemudian disimpan oleh anggota keluarga inti. Kain-kain hitam itu akan disimpan di dalam oratori (ruangan atau lemari kecil tempat menyimpan barang-barang kudus: Salib Yesus, patung Bunda Maria, Kitab Suci, Rosario, dan barang kudus lainnya), di mana anggota keluarga biasa menjadikannya tempat berdoa.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka masa perkabungan pun berakhir. Mereka yang selama setahun mengenakan Lutu Metan kini boleh memasuki kembali atmosfir kehidupan yang biasa, dengan keyakinan iman bahwa almarhum yang mereka cintai itu sudah beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang”. Almarhum juga diyakini akan menjadi perantara doa antara mereka dengan Sang Khalik, yang bisa memohonkan rahmat Tuhan bagi anggota keluarga yang masih berziarah di dunia ini.
III. LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA
 3. 1. Mencintai Dalam Aneka Bentuk Pengkondisian Diri Selama Lutu Metan
      Mengenakan Lutu Metan sebagai tanda perkabungan pada hakikatnya membawa konsekuensi yang mesti ditanggung. Konsekuensi itu adalah macam-macam bentuk pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, yang akan mewarnai hari-hari hidup mereka sejak Lutu Metan efektif hingga diadakannya ritus Kore Metan setahun kemudian. Macam-macam bentuk pengkondisian diri tersebut antara lain bisa disebutkan sebagai berikut:
  • Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya dikondisikan untuk tidak bersenang-senang dalam keseharian hidupnya. Kenyataan seperti ini secara kasat mata bisa diamati tatkala mereka menghadiri acara-acara tertentu, sebagai misal dalam acara pesta pernikahan. Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya tidak berlama-lama di tempat tersebut, apalagi berpartisipasi dalam acara “dansa” yang acapkali diklaim sebagai puncak dari acara pesta tersebut.
  • Khusus bagi suami atau istri yang pasangannya telah berpulang mendahuluinya, selama mengenakan Lutu Metan ia akan rela menjalani hari-hari kesendiriannya tanpa banyak berpikir untuk menikah lagi atau mencari pasangan hidup yang baru.
  • Mereka secara rutin akan mengunjungi makam almarhum untuk menabur bunga.
  • Mengadakan doa bersama dalam keluarga untuk memohon keselamatan arwah almarhum.
  • Menjauhi amarah dan pertengkaran. Dalam arti bahwa mereka harus selalu mengusahakan keharmonisan dalam hidup bersama, secara ke dalam maupun dengan orang lain.
Semua bentuk pengkondisian diri yang disebutkan ini selain diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, namun serentak pula mengandung nilai keutamaan, yaitu sebagai modus pembahasaan rasa cinta mereka terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Mereka mengkondisikan diri sedemikian rupa selama hari-hari Lutu Metan karena cinta kasih yang menenun kebersamaan hidup dengan pribadi yang telah “berpulang” diakui tidak dapat dilupakan begitu saja dalam arus waktu yang bergulir.
3. 2. Mencintai Dengan Sikap Batin Dalam Upacara Kore Metan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa berbagai bentuk pengkondisian diri selama Lutu Metan dimotivisir oleh rasa cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, maka hal yang sama pun dihayati dalam Kore Metan. Kore Metan sedianya dilakukan juga sebagai ungkapan cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, yang dibahasakan secara unik dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai selama-lamanya, meskipun secara kasat mata telah terjadi setahun yang lalu. Mereka yang berpartisipasi dalam Lutu Metan ini, didorong oleh rasa cinta yang mendalam, meyakini bahwa suatu saat nanti akan ada penyatuan kembali antara mereka dan pribadi yang telah “berpulang” dalam suatu bentuk kehidupan definitif tanpa kematian sesudah kehidupan fana di dunia ini. Keyakinan ini akan membuat mereka senantiasa berkanjang dalam kerinduan dan pengharapan hingga ajal menjemput mereka untuk merealisir keyakinan tersebut.  

Hal yang diuraikan ini juga sebenarnya mau menegaskan bahwa Kore Metan yang dijalankan hakikatnya bukanlah upaya untuk memutuskan tali hubungan antara mereka yang masih hidup dengan pribadi yang sudah “berpulang”, melainkan suatu tahap di mana mereka yang masih hidup harus menerima realitas keberpisahan yang telah terjadi setahun yang lalu dengan lapang dada. Dengan dimungkinkan oleh cinta, Kore Metan pun serta merta akan menjadi ajang memupuk kerinduan dan harapan yang mengilhami penyatuan di masa depan, realitas kehidupan baru yang akan mereka alami  bersama di “dunia seberang”.

Sampai pada titik ini, jelaslah bahwa hal kematian bagi orang Timor Leste bukanlah sekedar situasi batas dramatis yang mengharukan, melainkan juga menginspirir keyakinan akan adanya kemungkinan kehidupan lain (iman akan kebangkitan) pasca kehidupan fana di muka bumi ini. Dalam tataran inilah Kore Metan memainkan peranan penting untuk menyadarkan mereka yang berkabung bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya.
IV. LUTU METAN DAN KORE METAN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KEYAKINAN IMAN KRISTEN
        Kultus perkabungan masyarakat Timor Leste yang diungkapkan dalam bentuk Lutu Metan dan Kore Metan pada dasarnya tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristen. Hal ini bisa dilihat dari dimensi utama yang mau ditekankan melalui kultus itu, yaitu sebagai modus pembahasaan cinta terhadap orang-orang yang telah meninggal.

           Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta tentunya proporsional dengan model mencinta yang luhur dalam keyakinan iman Kristen, yaitu “agape”. Secara teologis, kata ini pertama-tama dipakai untuk membahasakan cara mencinta yang dilakoni Tuhan dalam kerangka rencana penyelamatan-Nya, yang diwahyukan dalam hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Berdasarkan teladan mencinta Tuhan ini, maka manusia pun dituntut untuk berkanjang dalam cinta yang sama dalam relasi-relasinya, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama umat manusia.

Dalam tataran hidup manusiawi, “agape” itu sendiri sesungguhnya adalah kekuatan yang dapat memungkinkan dan mengubah bentuk dan cara hidup seseorang. Dengannya manusia akan dimampukan untuk bertindak secara bebas dan sengaja, dan bukan hanya merasa dalam cara tertentu saja. “Agape” ini adalah model mencinta tanpa kalkulasi untung dan rugi, diberikan secara bebas tanpa sehelai tali keterikatan dalam bentuk apa pun, penuh pengorbanan dan penyerahan diri.[1] Sebab itu, layaklah bila “agape” kemudian dilihat sebagai ikon dari segala model mencinta, yang mencontohi cara mencinta Tuhan sendiri dalam sejarah penyelamatan-Nya terhadap umat manusia.

Model mencinta seperti inilah yang kiranya juga diperlihatkan dalam kultus perkabungan masyarakat Timor Leste sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dalam aneka bentuk pengkondisian diri yang dilakoni selama Lutu Metan, mereka yang berkabung mencoba mengartikulasikan suasana batinnya, rasa cintanya yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Bagi mereka, macam-macam bentuk pengkondisian diri seperti itu adalah media yang paling tepat untuk mencurahkan rasa cintanya, perasaan eksistensial yang menuntut pengungkapan terhadap orang yang dicintainya kendatipun maut telah memisahkan mereka.

Dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai untuk selama-lamanya pada upacara Kore Metan, mereka yang berkabung juga sebenarnya mengungkapkan perasaan cinta yang sama dalam bentuk kesadaran, bahwa realitas “keberpisahan” itu sudah selayaknya diterima sebagai konsekuensi logis dari kefanaan hidup manusia di muka bumi ini. Dengan mengusung kesadaran semacam ini dan didorong oleh perasaan cinta, mereka juga akhirnya memaknai lebih lanjut bahwa kematian itu pada dasarnya bukanlah akhir dari segala-galanya. Atau tepatnya seperti yang acapkali diprefasikan dalam misa arwah bahwa dalam kematian “hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan”.[2] Karena itu, iman akan kebangkitan pun turut mewarnai sikap batin dalam Kore Metan. 

Berdasarkan tinjauan ini, maka bisa dikatakan bahwa Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta pada dasarnya masih mengikuti pola keyakinan iman Kristen, yaitu tentang model mencinta yang paling luhur, yaitu cinta agape dan juga keyakinan akan hidup sesudah mati sebagai “saat” beralih kepada kehidupan definitif.
V. PENUTUP
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta dalam suasana perkabungan pada hakikatnya mau menampilkan inklusivitas cinta yang tak terbendung dalam totalitas hidup manusia. Cinta tak mengenal limit, ruang dan waktu, karena ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia. Ia hadir dan ada bersama manusia dalam keseluruhan suasana, suka maupun duka, sehingga memampukan manusia untuk bertindak dan bersikap secara tertentu.

Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta implisit tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristiani. Hal ini terungkap dalam dimensi yang mau ditekankan, yaitu soal pembahasaan cinta itu sendiri. Dalam Lutu Metan dan Kore Metan, masyarakat pengusung kultus perkabungan ini sebenarnya mempraktekkan model mencinta yang sangat luhur sebagaimana dihayati dalam keyakinan iman kristen, yaitu “cinta agape”. Dalam keyakinan iman Kristen, model mencinta ini sebenarnya mengikuti pola mencinta Tuhan sendiri kepada umat-Nya. “Cinta agape” itu adalah cinta yang lepas bebas, tanpa kalkulasi, dan akhirnya lebih sebagai penyerahan diri demi sesuatu nilai baik yang mau dikejar. Bermodalkan model mencinta ini, Lutu Metan dan Kore Metan pun akhirnya menginspirir iman akan kebangkitan bagi masyarakat Timor Leste sebagai saat beralih kepada kehidupan definitif, kerinduan dan harapan penyatuan di “dunia seberang”.

Demikianlah Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta mewarnai praktek perkabungan dalam masyarakat Timor Leste, yang masih tetap lestari hingga kini karena jiwa utama penghayatannya terus ditradisikan dari generasi ke generasi.

CACI di Manggarai - Flores , Perang Tanpa Dendam


Cetar!” Suara kendiki yang mencambuk udara membuka tari caci, sebuah tari yang biasa dilakukan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai bagian dari persembahan. Zaman dahulu, caci merupakan bagian dari berilka, persembahan yang disuguhkan pada upacara peresmian kampung.
Seiring waktu, karena warga Manggarai bertani dan berkebun-ladang, caci berkembang menjadi suguhan kala syukur panen. Sampai akhirnya kini, tari caci menjadi pergelaran hiburan saat acara perkawinan, menerima pejabat, acara keagamaan, hingga menyambut tamu-tamu atau wisatawan. Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca artinya “satu” dan ci berarti “uji”. Dalam sebuah definisi, ‘caci’ bisa diartikan ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.
Yosef Tukis, Kepala Kampung Melo, Manggarai Barat, NTT, berbagi kisah, “Kehidupan manusia dulu berada dalam satu pulau, yang asalnya dari berbagai pulau. Awalnya tidak harmonis. Selalu ada perang tanding, baku musuh. Tetapi, suatu waktu ada perdamaian. “Perdamaian inilah yang dirayakan dalam bentuk upacara adat, salah satu rangkaiannya adalah caci.
Simbolisme Kuat terhadap Kerbau
Caci dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai, Flores Barat. Tari ini selalu dilakukan oleh laki-laki berasal dari pihak ata one (tuan rumah) dan ata pe’ang (pendatang) yang kerap disebut juga meka landang (tamu penantang). Jumlah penari beragam. Namun, peraturan “perang” sama; mereka harus berperang satu lawan satu. Yang satu bertugas sebagai pemukul (paki), sedangkan yang lain menjadi penangkis (ta’ang).
Seperti layaknya hendak berangkat perang, para penari caci dilengkapi beberapa perangkat, yaitu kendiki (cambuk), nggiling (tameng), dan koret (penangkis). Kendiki terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan. Di beberapa daerah, ujung kendiki dipasang lidi dari pohon nira agar berbunyi nyaring saat dicambuk ke udara. Kendiki ini melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Nggiling yang berbentuk bundar terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Ia melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, dan dunia. Lalu koret dibuat dari sekumpulan bambu yang diikat dan dijalin, biasa disebut agang.
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan

upacara adat Indonesia yang paling unik, aneh, dan mistis




 
Inilah 5 dafatar upacara adat Inonesia yang paling unik, aneh, dan mistis :
1. Rambu Solo (Tanah Toraja)

 Rambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan /kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang di usung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam goa. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.
Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing.Uniknya lagi… konon katanya, wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal. 


2. Tabuik (Padang Pariaman)

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.

3. Ngaben (Bali)

Ngaben adalah upacara pembakaran atau kremasi jenazah umat Hindu Bali.
Dalam prosesi Ngaben, ketika api mulai disulut, perlahan-lahan kobaran api akan membesar dan mulai berkobar menyulut sosok jenazah. Lama-kelamaan kobaran api mulai menghanguskan jazadnya yang dipercaya akan melepaskan segala ikatan keduniawian dari orang yang meninggal itu. Bila ikatan keduniawian telah terlepas, maka semakin terbukalah kesempatan untuk melihat kebenaran dan keabadian kesucian Illahi di alam sana.
Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan, keluarga dari orang yang meninggal dibantu oleh masyarakat membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat jenazah yang nantinya dibakar.

4. Kebo-Keboan (Banyuwangi) 

Prosesi upacara adat Kebo-keboan yang dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanam.
Puncaknya prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang bertingkah seperti kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang mencoba mengambil bibit padi yang ditanam. Warga masyarakat Desa Alasmalang berusaha berebut bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak-balak maupununtuk keuntungan.


5. Ritual Tiwah (Kalimantan Tengah)

Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karen unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng

TIGA SUKU TERANEH

3 SUKU TERANEH

 

1. Suku terprimitif
Ternyata di jaman yang serba modern seperti saat ini masih ada suku yang sama sekali tak tersentuh kemajuan peradaban manusaia gann alias primitaif . Itulah temuan terbaru dari kelompok Survival International. Satu suku Indian Amazon (di dekat perbatasan antara Brasil dan Peru) yang merupakan salah satu dari suku yang terakhir kali tak tersentuh modernisasi dunia berhasil diabadikan dari udara. Tubuh mereka dibalur cat berwarna merah cerah dilengkapi dengan panah dan busur
Salah satu gambar yang bisa kita saksikan adalah melalui situs Survival International yang menampilkan dua pria suku Indian yang dilabur warna merah cerah membidik panah berapi mereka ke pesawat pengintai, sementara yang lain tengah mengamati pesawat tersebut dengan terheran-heran.

Foto lainnya menunjukkan sekitar 15 orang suku Indian berada dekat gubuk kayu sangat primitif, di mana beberapa dari mereka tengah mempersiapkan panah berapi yang dibidikkan ke arah pesawat.

2. Suku Kanibal


Korowai dan Kombai merupakan kelompok etnis yang berbeda yang berada di pedalam Papua. Masing-masing dengan bahasa mereka sendiri, tetapi mereka melakukan untuk mengelola dan juga berbagi praktek-praktek budaya yang mirip. Mereka terampil berburu, orang yang berburu mangsa termasuk kasuari dan babi hutan. Suku ini masih dalam perdagangan benda seperti tulang perhiasan dan pisau, dan mungkin baru diperkenalkan kepada logam dan ide pakaian di tahun 1970-an, ketika pertama misionaris tiba. Alat-alat seperti bambu yang tajam digunakan untuk mengiris daging, kerang untuk menampung air, dan air panas di batu tempat memasak.

Kanibalisme juga hal yang umum dalam sejarah kedua suku Kombai dan Korowai. Untuk Kombai, hal ini merupakan salah satu bentuk hukuman kesukuan, hanya dengan orang yang diidentifikasi sebagai dukun, dibunuh dan dimakan oleh masyarakat sebagai persembahan untuk jiwa dimakan oleh terdakwa. Kanibalisme penting dalam dunia gaib, mirip kepercayaan untuk Korowai dan mungkin juga telah dilakukan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Sepertinya pohon tidak dipercaya pada alam kematian, tetapi kematian yang disebabkan oleh sihir - juga diyakini menjadi penyebab perang antar suku.

3. Suku Kerdil



Orang Pendek adalah makhluk cryptozoolgy yang dipercaya hidup tersebar di beberapa wilayah Sumatera seperti Bengkulu, Palembang dan Jambi. Nama-nama lain yang sering diasosiasikan dengan Orang Pendek antara lain : Atu Pendek, Ijaoe, Sedabo, Sedapa, Sindai, Uhang Pandak, Orang Letjo dan Orang Gugu. Makhluk ini memiliki tinggi hanya sekitar 70 cm, diselubungi oleh bulu gelap. Namun wajahnya relatif tidak diselimuti bulu. Kadang-kadang para saksi mendengar suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya.

Legenda Orang pendek mulai terdengar sejak awal abad 20. Pada tanggal 21 Agustus 1915, Edward Jacobson menemukan sekumpulan jejak misterius di tepi danau Bento, di tenggara gunung Kerinci, Propinsi Jambi. Pemandunya yang bernama Mat Getoep mengatakan bahwa jejak sepanjang 5 inci tersebut adalah milik Orang Pendek.Luar biasanya, walaupun Orang Pendek umumnya berhabitat di Kerinci, propinsi jambi, namun penampakan makhluk ini terjadi di hampir seluruh Sumatera.

Pada tahun 1995 ketika gempa besar melanda Liwa, Lampung, beberapa penduduk lokal menyampaikan kepada para pekerja asing bahwa mereka menyaksikan Orang Pendek keluar dari hutan, mungkin takut akibat gempa besar tersebut.Para peneliti kemudian mulai mendapat kemajuan ketika pada tahun 2001, sekelompok tim ekspedisi amatir dari Inggris yang dipimpin oleh Adam Davies menemukan sekumpulan jejak yang dipercaya milik Orang pendek.

Translate