Logo Design by FlamingText.com
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Home » » CACI di Manggarai - Flores , Perang Tanpa Dendam

CACI di Manggarai - Flores , Perang Tanpa Dendam


Cetar!” Suara kendiki yang mencambuk udara membuka tari caci, sebuah tari yang biasa dilakukan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai bagian dari persembahan. Zaman dahulu, caci merupakan bagian dari berilka, persembahan yang disuguhkan pada upacara peresmian kampung.
Seiring waktu, karena warga Manggarai bertani dan berkebun-ladang, caci berkembang menjadi suguhan kala syukur panen. Sampai akhirnya kini, tari caci menjadi pergelaran hiburan saat acara perkawinan, menerima pejabat, acara keagamaan, hingga menyambut tamu-tamu atau wisatawan. Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca artinya “satu” dan ci berarti “uji”. Dalam sebuah definisi, ‘caci’ bisa diartikan ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.
Yosef Tukis, Kepala Kampung Melo, Manggarai Barat, NTT, berbagi kisah, “Kehidupan manusia dulu berada dalam satu pulau, yang asalnya dari berbagai pulau. Awalnya tidak harmonis. Selalu ada perang tanding, baku musuh. Tetapi, suatu waktu ada perdamaian. “Perdamaian inilah yang dirayakan dalam bentuk upacara adat, salah satu rangkaiannya adalah caci.
Simbolisme Kuat terhadap Kerbau
Caci dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai, Flores Barat. Tari ini selalu dilakukan oleh laki-laki berasal dari pihak ata one (tuan rumah) dan ata pe’ang (pendatang) yang kerap disebut juga meka landang (tamu penantang). Jumlah penari beragam. Namun, peraturan “perang” sama; mereka harus berperang satu lawan satu. Yang satu bertugas sebagai pemukul (paki), sedangkan yang lain menjadi penangkis (ta’ang).
Seperti layaknya hendak berangkat perang, para penari caci dilengkapi beberapa perangkat, yaitu kendiki (cambuk), nggiling (tameng), dan koret (penangkis). Kendiki terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan. Di beberapa daerah, ujung kendiki dipasang lidi dari pohon nira agar berbunyi nyaring saat dicambuk ke udara. Kendiki ini melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Nggiling yang berbentuk bundar terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Ia melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, dan dunia. Lalu koret dibuat dari sekumpulan bambu yang diikat dan dijalin, biasa disebut agang.
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan

0 komentar:

Posting Komentar

Translate