Logo Design by FlamingText.com
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

BUDAYA DAN SENI TIMOR LESTE


 

BUDAYA DAN SENI

1. Seni Tari
Di Distrik Dili terdapat beberapa tarian daerah yang mempesona. Tarian-tarian tersebut antara lain : Tari Lorsa, Tari Simu Surik, Tari Boot, Tari Likurai, Tari Tebe-Tebe, dan Tari Folklore. Tari Likurai lebih popular sampai ditingkat nasional, tarian ini dilakukan untuk menyambut para prajurit yang baru pulang dari medan pertempuran dan juga untuk menyambut Tamu Agung yang datang. Selain itu jenis tari yang menonjol dan sangat digemari generasi muda di Dili adalah “ folklore “ yaitu bentuk tari pengaruh dari Portugal, yang telah merakyat di Dili.

2. Seni Sastra
Seni sastra yang berkembang didalam Masyarakat Dili dan Timor Leste umumnya dan masih dilestarikan sampai sekarang adalah kanunuk ( Pantun ), Dadolik ( Puisi ), Aknanoik ( Cerita ), Baitoa ( Nyanyian Sedih ). Jenis-jenis ini adalah sastra lisan yang dituturkan oleh seorang Makoa pada acara adat tertentu. Mengenai Kanunuk, ada berbagai macam jenisnya, diantaranya pantun yang menjadi bagian dari suatu tarian, adapula pantun yang untuk bersahut-sahutan yang dilakukan oleh para muda-mudi pada acara tertentu. Adapun Dadolik, adalah bentuk sastra yang bersifat sangat ritual, digunakan untuk memuja para leluhur. Aknanoik, adalah cerita rakyat yang dituturkan oleh Makoa atau oleh orang-orang tua. Cerita tersebut umumnya berisi mitos, kepercayaan, dan asal-usul nenek moyang masyarakat setempat.

3. Seni Kerajinan dan Industri kecil
Seni dan kerajinan industri kecil yang ada di Dili antara lain:
Gerabah, Marmer, Keramik, Kerajinan anyaman dari tari agel, aneka kerajinan dari daun pandan dan lontar, tenun ikat yang hasilnya disebut kain "Tais", aneka ukiran dari kayu dan lainnya.

4. Seni Suara
Bentuk seni musik yang paling kuno di distrik Dili adalah Maloi dan kore-metan. Maloi adalah nama suatu jenis nyanyian, yang diiring dengan alat musik Lakadou (alat musik yang di buat dari bambu). Dapat juga di iringi dengan alat musik kakeit(alat musik dari logam/bambu) yang dimainkan dengan mulut dan jari.
Yang terkenal hingga sekarang adalah "kore-metan". Sebenarnya "kore-metan" adalah nama upacara adat yang menandai selesainya masa berkabung bagi suatu keluarga selama 1 tahun sebagai masa berkabung karena salah seorang anggota keluarga dekat meninggal. "Kore" berarti melepaskan, "Metan" berarti hitam. Jadi "kore-metan" adalah upacara melepaskan kain hitam yang dipakai oleh sekelompok keluarga. Musik ini mula-mula adalah musik upacara adat dalam melepaskan kain hitam. Adalah suatu kepercayaan yang turun-temurun berlaku tidak hanya di Dili saja tetapi diseluruh Timor Leste bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka jiwanya belum dapat berpindah ke alam lain sebelum diadakan upacara pelepasan oleh keluarganya. Musik ini diiringi oleh alat musik seperti : biola, gitar, okolele, babadok bandolin dan tambur.

5. Permainan Rakyat
Permainan rakyat masyarakat Dili pada umumnya menyukai kuru-kuru (permainan dadu) dan sabung ayam adalah permainan tradisi dari zaman Nenek Moyang dulu sampai sekarang. Permainan ini dapat di jumpai di setiap desa, maupun kecamatan

LUTU METAN DAN KORE METAN Di Timor Leste

LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA (Sebuah Tinjauan Kultus Perkabungan Dalam Masyarakat Timor Leste)



I. PENDAHULUAN
Perkara cinta pada hakikatnya mengusung inklusivitas yang tak terperikan dalam hidup manusia. Ia bisa merembesi segala moment kehidupan, suka maupun duka, tidak dipilahnya. Ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia, menuntut pengungkapan dalam aneka cara dan bentuk yang unik untuk merepresentasikan dirinya.

Dalam realitas kedukaan karena kematian, misalnya, cinta hadir dan ada di sana untuk memampukan manusia bertindak dan bersikap secara tertentu. Cinta mengajak manusia masuk ke dalam permenungan eksistensial berhadapan dengan realitas kematian pribadi-pribadi tercinta, sambil mengupayakan bagi manusia itu sendiri suatu modus proporsional untuk menyatakan suasana batinnya. Dalam tataran ini, cinta adalah power (kekuatan) yang tak terperikan bagi manusia. Cinta mendukung suasana berkabung manusia secara kreatif dalam aneka bentuk pengkondisian diri, sikap yang dibuat secara sadar dan bertanggung jawab.
Bertalian dengan soal cinta sebagai power (kekuatan) dalam suasana perkabungan, maka melalui tulisan ini saya tertarik untuk mendalami sebuah kultus perkabungan yang diusung oleh masyarakat Timor Leste sebagai modus pembahasaan cinta. Saya mencoba mengetengahkan sisi original Lutu Metan dan Kore Metan untuk memperlihatkan manifestasi cinta sebagai kekuatan yang memampukan orang untuk bertindak dan bersikap secara tertentu selama hari-hari perkabungan dan post perkabungan. Di akhir pembahasan, saya juga akan merekomendasikan penilaian terhadap praktek perkabungan ini dalam terang keyakinan iman Kristen, untuk menguji apakah menyalahinya atau tidak. Untuk itu, keseluruhan uraian berikut sangat penting untuk membentuk pemahaman menyeluruh soal kultus perkabungan ini.
II. LUTU METAN DAN KORE METAN DALAM BATASAN MAKNA, SIMBOLISASI DAN RITUS
 2. 1. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Batasan Makna
                Masyarakat Timor Leste umumnya sangat akrab dengan istilah Lutu Metan dan Kore Metan dalam kehidupan mereka. Secara hurufiah, Lutu Metan berarti pagar hitam, dari kata Lutu yang berarti pagar dan Metan yang berarti hitam. Sedangkan Kore Metan berarti melepaskan hitam, dari kata Kore yang artinya melepaskan dan Metan yang berarti hitam. Kedua istilah ini adalah frasa yang sebenarnya mau merepresentasikan sesuatu makna yang lebih mendalam untuk dihayati.

            Lutu Metan dan Kore Metan dalam ranah praksis hakikatnya lebih berkenaan dengan moment perkabungan karena peristiwa kematian seseorang. Dalam arti ini, istilah Lutu Metan dan Kore Metan digunakan sebagai modus pembahasaan cinta, yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pengkondisian diri dan sikap tertentu.
2. 2. Simbolisasi Lutu Metan dan Kore Metan
            Lutu Metan dan Kore Metan sebagai istilah eksklusif masyarakat Timor Leste untuk membahasakan modus mencinta dalam suasana perkabungan pada dasarnya disertai pula dengan tanda lahiriah yang bisa dipersepsi kasat mata. Tanda lahiriah Lutu Metan berupa pengenaan selembar kain hitam yang biasanya dijepitkan pada saku baju atau lengan baju, umumnya oleh kaum pria, atau juga dalam versi lain, yaitu kerudung hitam yang biasa dikenakan oleh kaum wanita. Sedangkan Kore Metan sebagai puncak dari Lutu Metan, memiliki tanda lahiriahnya berupa penanggalan kain hitam atau kerudung hitam yang selama jangka waktu tertentu telah dikenakan. Kore Metan ini pada dasarnya menandai berakhirnya masa perkabungan.
            Tanda-tanda lahiriah sebagaimana yang telah disebutkan di atas umumnya dikondisikan bagi kerabat dekat pribadi yang telah “berpulang”, terutama keluarga inti almarhum/almarhuma.
2. 3. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Tataran Ritus   
2. 3. 1. Ritus Lutu Metan
            Ritus Lutu Metan biasanya dibuat pada hari kedelapan (pada malam hari) pasca kematian seseorang. Namun sebelum ritus ini dibuat, anggota keluarga yang berduka terlebih dahulu harus merampungkan dua ritus lainnya yang lazim disebut aifunan midar (bunga manis) dan taka odamatan (tutup pintu). Maksud kedua ritus tersebut, yaitu bahwa rumah harus dibersihkan dan kemudian anggota keluarga yang berduka membawa karangan bunga ke kuburan untuk ditempatkan pada makam pribadi yang telah “berpulang”. Kedua ritus ini dibuat pada sore hari, sebagai ungkapan kesiap-sediaan beralih kepada ritus Lutu Metan.

            Dalam ritus Lutu Metan itu akan dibagi-bagikan kain hitam untuk dikenakan, secara khusus kepada anggota keluarga inti dan anggota kerabat lain yang ingin berpartisipasi di dalamnya. Lutu Metan normalnya akan dikenakan selama satu tahun, namun itu tidak menutup kemungkinan juga bila ada anggota keluarga inti yang ingin memperpanjang masa Lutu Metannya hingga batas waktu maximum, yaitu tujuh tahun. Penghayatan untuk batas waktu maximum eksklusif dijalankan secara privat, sehingga pribadi yang bersangkutan akan dikecualikan pada saat Kore Metan yang diadakan setahun kemudian. Dalam arti bahwa pribadi tersebut tidak berpartisipasi dalam Kore Metan yang akan dibuat.

        Sehubungan dengan ritus ini, ada pula hal lain yang mesti diperhatikan, yaitu soal kelayakan umur untuk Lutu Metan. Khusus bagi orang dewasa, Lutu Metan wajib dikenakan selama satu tahun atau bisa lebih hingga batas waktu maximum. Sedangkan bagi anak di bawah umur, mereka hanya diwajibkan mengenakan Lutu Metan selama tiga bulan. Lutu Metan yang mereka kenakan kemudian dialihkan kepada orang dewasa, biasanya kepada orang tua mereka hingga batas waktu untuk Kore Metan.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka tidak ada lagi acara jaga malam atau mete. Masing-masing orang secara privat mulai menjalani hari-hari perkabungan mereka, dengan berbagai macam pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab.
2. 3. 2. Ritus Kore Metan
Setelah menjalani jangka waktu normal yang ditetapkan untuk Lutu Metan, maka pada klimaksnya ritus perkabungan berikut yang harus dirampungkan adalah Kore Metan. Ritus ini diawali dengan hader aifunan moruk (jaga malam bunga pahit) dan hader aifunan midar (jaga malam bunga manis). Kedua istilah ini dimaksudkan untuk mengenang kembali pribadi yang telah “berpulang” setahun yang lalu, semua pengalaman eksistensial yang pernah diukir bersama dengan almarhum. Untuk maksud ini, sidang perkabungan yang mengenakan Lutu Metan akan mengadakan acara mete bersama selama tiga hari berturut-turut, dengan intensi khusus mendoakan arwah almarhum supaya beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang” dan menjadi pendoa bagi anggota keluarga yang masih hidup. Pada hari ketiga itulah ritus Kore Metan harus dijalankan.

Ritus Kore Metan yang berarti melepaskan pagar hitam (Lutu Metan) dimaksudkan untuk melepaskan beban duka, perkabungan yang telah dijalani selama setahun yang lalu. Realitas ini mengartikulasikan juga disposisi batin untuk merelakan dengan tulus ikhlas kepergian pribadi yang telah “berpulang” selama-lamanya, meskipun fakta fisisnya sudah terjadi setahun yang lalu. Ritus ini ditandai dengan pengumpulan kembali kain hitam yang selama setahun sudah dikenakan oleh masing-masing orang sebagai tanda berkabung, dan kemudian disimpan oleh anggota keluarga inti. Kain-kain hitam itu akan disimpan di dalam oratori (ruangan atau lemari kecil tempat menyimpan barang-barang kudus: Salib Yesus, patung Bunda Maria, Kitab Suci, Rosario, dan barang kudus lainnya), di mana anggota keluarga biasa menjadikannya tempat berdoa.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka masa perkabungan pun berakhir. Mereka yang selama setahun mengenakan Lutu Metan kini boleh memasuki kembali atmosfir kehidupan yang biasa, dengan keyakinan iman bahwa almarhum yang mereka cintai itu sudah beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang”. Almarhum juga diyakini akan menjadi perantara doa antara mereka dengan Sang Khalik, yang bisa memohonkan rahmat Tuhan bagi anggota keluarga yang masih berziarah di dunia ini.
III. LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA
 3. 1. Mencintai Dalam Aneka Bentuk Pengkondisian Diri Selama Lutu Metan
      Mengenakan Lutu Metan sebagai tanda perkabungan pada hakikatnya membawa konsekuensi yang mesti ditanggung. Konsekuensi itu adalah macam-macam bentuk pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, yang akan mewarnai hari-hari hidup mereka sejak Lutu Metan efektif hingga diadakannya ritus Kore Metan setahun kemudian. Macam-macam bentuk pengkondisian diri tersebut antara lain bisa disebutkan sebagai berikut:
  • Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya dikondisikan untuk tidak bersenang-senang dalam keseharian hidupnya. Kenyataan seperti ini secara kasat mata bisa diamati tatkala mereka menghadiri acara-acara tertentu, sebagai misal dalam acara pesta pernikahan. Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya tidak berlama-lama di tempat tersebut, apalagi berpartisipasi dalam acara “dansa” yang acapkali diklaim sebagai puncak dari acara pesta tersebut.
  • Khusus bagi suami atau istri yang pasangannya telah berpulang mendahuluinya, selama mengenakan Lutu Metan ia akan rela menjalani hari-hari kesendiriannya tanpa banyak berpikir untuk menikah lagi atau mencari pasangan hidup yang baru.
  • Mereka secara rutin akan mengunjungi makam almarhum untuk menabur bunga.
  • Mengadakan doa bersama dalam keluarga untuk memohon keselamatan arwah almarhum.
  • Menjauhi amarah dan pertengkaran. Dalam arti bahwa mereka harus selalu mengusahakan keharmonisan dalam hidup bersama, secara ke dalam maupun dengan orang lain.
Semua bentuk pengkondisian diri yang disebutkan ini selain diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, namun serentak pula mengandung nilai keutamaan, yaitu sebagai modus pembahasaan rasa cinta mereka terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Mereka mengkondisikan diri sedemikian rupa selama hari-hari Lutu Metan karena cinta kasih yang menenun kebersamaan hidup dengan pribadi yang telah “berpulang” diakui tidak dapat dilupakan begitu saja dalam arus waktu yang bergulir.
3. 2. Mencintai Dengan Sikap Batin Dalam Upacara Kore Metan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa berbagai bentuk pengkondisian diri selama Lutu Metan dimotivisir oleh rasa cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, maka hal yang sama pun dihayati dalam Kore Metan. Kore Metan sedianya dilakukan juga sebagai ungkapan cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, yang dibahasakan secara unik dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai selama-lamanya, meskipun secara kasat mata telah terjadi setahun yang lalu. Mereka yang berpartisipasi dalam Lutu Metan ini, didorong oleh rasa cinta yang mendalam, meyakini bahwa suatu saat nanti akan ada penyatuan kembali antara mereka dan pribadi yang telah “berpulang” dalam suatu bentuk kehidupan definitif tanpa kematian sesudah kehidupan fana di dunia ini. Keyakinan ini akan membuat mereka senantiasa berkanjang dalam kerinduan dan pengharapan hingga ajal menjemput mereka untuk merealisir keyakinan tersebut.  

Hal yang diuraikan ini juga sebenarnya mau menegaskan bahwa Kore Metan yang dijalankan hakikatnya bukanlah upaya untuk memutuskan tali hubungan antara mereka yang masih hidup dengan pribadi yang sudah “berpulang”, melainkan suatu tahap di mana mereka yang masih hidup harus menerima realitas keberpisahan yang telah terjadi setahun yang lalu dengan lapang dada. Dengan dimungkinkan oleh cinta, Kore Metan pun serta merta akan menjadi ajang memupuk kerinduan dan harapan yang mengilhami penyatuan di masa depan, realitas kehidupan baru yang akan mereka alami  bersama di “dunia seberang”.

Sampai pada titik ini, jelaslah bahwa hal kematian bagi orang Timor Leste bukanlah sekedar situasi batas dramatis yang mengharukan, melainkan juga menginspirir keyakinan akan adanya kemungkinan kehidupan lain (iman akan kebangkitan) pasca kehidupan fana di muka bumi ini. Dalam tataran inilah Kore Metan memainkan peranan penting untuk menyadarkan mereka yang berkabung bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya.
IV. LUTU METAN DAN KORE METAN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KEYAKINAN IMAN KRISTEN
        Kultus perkabungan masyarakat Timor Leste yang diungkapkan dalam bentuk Lutu Metan dan Kore Metan pada dasarnya tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristen. Hal ini bisa dilihat dari dimensi utama yang mau ditekankan melalui kultus itu, yaitu sebagai modus pembahasaan cinta terhadap orang-orang yang telah meninggal.

           Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta tentunya proporsional dengan model mencinta yang luhur dalam keyakinan iman Kristen, yaitu “agape”. Secara teologis, kata ini pertama-tama dipakai untuk membahasakan cara mencinta yang dilakoni Tuhan dalam kerangka rencana penyelamatan-Nya, yang diwahyukan dalam hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Berdasarkan teladan mencinta Tuhan ini, maka manusia pun dituntut untuk berkanjang dalam cinta yang sama dalam relasi-relasinya, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama umat manusia.

Dalam tataran hidup manusiawi, “agape” itu sendiri sesungguhnya adalah kekuatan yang dapat memungkinkan dan mengubah bentuk dan cara hidup seseorang. Dengannya manusia akan dimampukan untuk bertindak secara bebas dan sengaja, dan bukan hanya merasa dalam cara tertentu saja. “Agape” ini adalah model mencinta tanpa kalkulasi untung dan rugi, diberikan secara bebas tanpa sehelai tali keterikatan dalam bentuk apa pun, penuh pengorbanan dan penyerahan diri.[1] Sebab itu, layaklah bila “agape” kemudian dilihat sebagai ikon dari segala model mencinta, yang mencontohi cara mencinta Tuhan sendiri dalam sejarah penyelamatan-Nya terhadap umat manusia.

Model mencinta seperti inilah yang kiranya juga diperlihatkan dalam kultus perkabungan masyarakat Timor Leste sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dalam aneka bentuk pengkondisian diri yang dilakoni selama Lutu Metan, mereka yang berkabung mencoba mengartikulasikan suasana batinnya, rasa cintanya yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Bagi mereka, macam-macam bentuk pengkondisian diri seperti itu adalah media yang paling tepat untuk mencurahkan rasa cintanya, perasaan eksistensial yang menuntut pengungkapan terhadap orang yang dicintainya kendatipun maut telah memisahkan mereka.

Dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai untuk selama-lamanya pada upacara Kore Metan, mereka yang berkabung juga sebenarnya mengungkapkan perasaan cinta yang sama dalam bentuk kesadaran, bahwa realitas “keberpisahan” itu sudah selayaknya diterima sebagai konsekuensi logis dari kefanaan hidup manusia di muka bumi ini. Dengan mengusung kesadaran semacam ini dan didorong oleh perasaan cinta, mereka juga akhirnya memaknai lebih lanjut bahwa kematian itu pada dasarnya bukanlah akhir dari segala-galanya. Atau tepatnya seperti yang acapkali diprefasikan dalam misa arwah bahwa dalam kematian “hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan”.[2] Karena itu, iman akan kebangkitan pun turut mewarnai sikap batin dalam Kore Metan. 

Berdasarkan tinjauan ini, maka bisa dikatakan bahwa Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta pada dasarnya masih mengikuti pola keyakinan iman Kristen, yaitu tentang model mencinta yang paling luhur, yaitu cinta agape dan juga keyakinan akan hidup sesudah mati sebagai “saat” beralih kepada kehidupan definitif.
V. PENUTUP
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta dalam suasana perkabungan pada hakikatnya mau menampilkan inklusivitas cinta yang tak terbendung dalam totalitas hidup manusia. Cinta tak mengenal limit, ruang dan waktu, karena ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia. Ia hadir dan ada bersama manusia dalam keseluruhan suasana, suka maupun duka, sehingga memampukan manusia untuk bertindak dan bersikap secara tertentu.

Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta implisit tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristiani. Hal ini terungkap dalam dimensi yang mau ditekankan, yaitu soal pembahasaan cinta itu sendiri. Dalam Lutu Metan dan Kore Metan, masyarakat pengusung kultus perkabungan ini sebenarnya mempraktekkan model mencinta yang sangat luhur sebagaimana dihayati dalam keyakinan iman kristen, yaitu “cinta agape”. Dalam keyakinan iman Kristen, model mencinta ini sebenarnya mengikuti pola mencinta Tuhan sendiri kepada umat-Nya. “Cinta agape” itu adalah cinta yang lepas bebas, tanpa kalkulasi, dan akhirnya lebih sebagai penyerahan diri demi sesuatu nilai baik yang mau dikejar. Bermodalkan model mencinta ini, Lutu Metan dan Kore Metan pun akhirnya menginspirir iman akan kebangkitan bagi masyarakat Timor Leste sebagai saat beralih kepada kehidupan definitif, kerinduan dan harapan penyatuan di “dunia seberang”.

Demikianlah Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta mewarnai praktek perkabungan dalam masyarakat Timor Leste, yang masih tetap lestari hingga kini karena jiwa utama penghayatannya terus ditradisikan dari generasi ke generasi.

CACI di Manggarai - Flores , Perang Tanpa Dendam


Cetar!” Suara kendiki yang mencambuk udara membuka tari caci, sebuah tari yang biasa dilakukan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai bagian dari persembahan. Zaman dahulu, caci merupakan bagian dari berilka, persembahan yang disuguhkan pada upacara peresmian kampung.
Seiring waktu, karena warga Manggarai bertani dan berkebun-ladang, caci berkembang menjadi suguhan kala syukur panen. Sampai akhirnya kini, tari caci menjadi pergelaran hiburan saat acara perkawinan, menerima pejabat, acara keagamaan, hingga menyambut tamu-tamu atau wisatawan. Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca artinya “satu” dan ci berarti “uji”. Dalam sebuah definisi, ‘caci’ bisa diartikan ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.
Yosef Tukis, Kepala Kampung Melo, Manggarai Barat, NTT, berbagi kisah, “Kehidupan manusia dulu berada dalam satu pulau, yang asalnya dari berbagai pulau. Awalnya tidak harmonis. Selalu ada perang tanding, baku musuh. Tetapi, suatu waktu ada perdamaian. “Perdamaian inilah yang dirayakan dalam bentuk upacara adat, salah satu rangkaiannya adalah caci.
Simbolisme Kuat terhadap Kerbau
Caci dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai, Flores Barat. Tari ini selalu dilakukan oleh laki-laki berasal dari pihak ata one (tuan rumah) dan ata pe’ang (pendatang) yang kerap disebut juga meka landang (tamu penantang). Jumlah penari beragam. Namun, peraturan “perang” sama; mereka harus berperang satu lawan satu. Yang satu bertugas sebagai pemukul (paki), sedangkan yang lain menjadi penangkis (ta’ang).
Seperti layaknya hendak berangkat perang, para penari caci dilengkapi beberapa perangkat, yaitu kendiki (cambuk), nggiling (tameng), dan koret (penangkis). Kendiki terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan. Di beberapa daerah, ujung kendiki dipasang lidi dari pohon nira agar berbunyi nyaring saat dicambuk ke udara. Kendiki ini melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Nggiling yang berbentuk bundar terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Ia melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, dan dunia. Lalu koret dibuat dari sekumpulan bambu yang diikat dan dijalin, biasa disebut agang.
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan

upacara adat Indonesia yang paling unik, aneh, dan mistis




 
Inilah 5 dafatar upacara adat Inonesia yang paling unik, aneh, dan mistis :
1. Rambu Solo (Tanah Toraja)

 Rambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan /kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang di usung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam goa. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.
Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing.Uniknya lagi… konon katanya, wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal. 


2. Tabuik (Padang Pariaman)

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.

3. Ngaben (Bali)

Ngaben adalah upacara pembakaran atau kremasi jenazah umat Hindu Bali.
Dalam prosesi Ngaben, ketika api mulai disulut, perlahan-lahan kobaran api akan membesar dan mulai berkobar menyulut sosok jenazah. Lama-kelamaan kobaran api mulai menghanguskan jazadnya yang dipercaya akan melepaskan segala ikatan keduniawian dari orang yang meninggal itu. Bila ikatan keduniawian telah terlepas, maka semakin terbukalah kesempatan untuk melihat kebenaran dan keabadian kesucian Illahi di alam sana.
Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan, keluarga dari orang yang meninggal dibantu oleh masyarakat membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat jenazah yang nantinya dibakar.

4. Kebo-Keboan (Banyuwangi) 

Prosesi upacara adat Kebo-keboan yang dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanam.
Puncaknya prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang bertingkah seperti kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang mencoba mengambil bibit padi yang ditanam. Warga masyarakat Desa Alasmalang berusaha berebut bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak-balak maupununtuk keuntungan.


5. Ritual Tiwah (Kalimantan Tengah)

Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karen unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng

TIGA SUKU TERANEH

3 SUKU TERANEH

 

1. Suku terprimitif
Ternyata di jaman yang serba modern seperti saat ini masih ada suku yang sama sekali tak tersentuh kemajuan peradaban manusaia gann alias primitaif . Itulah temuan terbaru dari kelompok Survival International. Satu suku Indian Amazon (di dekat perbatasan antara Brasil dan Peru) yang merupakan salah satu dari suku yang terakhir kali tak tersentuh modernisasi dunia berhasil diabadikan dari udara. Tubuh mereka dibalur cat berwarna merah cerah dilengkapi dengan panah dan busur
Salah satu gambar yang bisa kita saksikan adalah melalui situs Survival International yang menampilkan dua pria suku Indian yang dilabur warna merah cerah membidik panah berapi mereka ke pesawat pengintai, sementara yang lain tengah mengamati pesawat tersebut dengan terheran-heran.

Foto lainnya menunjukkan sekitar 15 orang suku Indian berada dekat gubuk kayu sangat primitif, di mana beberapa dari mereka tengah mempersiapkan panah berapi yang dibidikkan ke arah pesawat.

2. Suku Kanibal


Korowai dan Kombai merupakan kelompok etnis yang berbeda yang berada di pedalam Papua. Masing-masing dengan bahasa mereka sendiri, tetapi mereka melakukan untuk mengelola dan juga berbagi praktek-praktek budaya yang mirip. Mereka terampil berburu, orang yang berburu mangsa termasuk kasuari dan babi hutan. Suku ini masih dalam perdagangan benda seperti tulang perhiasan dan pisau, dan mungkin baru diperkenalkan kepada logam dan ide pakaian di tahun 1970-an, ketika pertama misionaris tiba. Alat-alat seperti bambu yang tajam digunakan untuk mengiris daging, kerang untuk menampung air, dan air panas di batu tempat memasak.

Kanibalisme juga hal yang umum dalam sejarah kedua suku Kombai dan Korowai. Untuk Kombai, hal ini merupakan salah satu bentuk hukuman kesukuan, hanya dengan orang yang diidentifikasi sebagai dukun, dibunuh dan dimakan oleh masyarakat sebagai persembahan untuk jiwa dimakan oleh terdakwa. Kanibalisme penting dalam dunia gaib, mirip kepercayaan untuk Korowai dan mungkin juga telah dilakukan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Sepertinya pohon tidak dipercaya pada alam kematian, tetapi kematian yang disebabkan oleh sihir - juga diyakini menjadi penyebab perang antar suku.

3. Suku Kerdil



Orang Pendek adalah makhluk cryptozoolgy yang dipercaya hidup tersebar di beberapa wilayah Sumatera seperti Bengkulu, Palembang dan Jambi. Nama-nama lain yang sering diasosiasikan dengan Orang Pendek antara lain : Atu Pendek, Ijaoe, Sedabo, Sedapa, Sindai, Uhang Pandak, Orang Letjo dan Orang Gugu. Makhluk ini memiliki tinggi hanya sekitar 70 cm, diselubungi oleh bulu gelap. Namun wajahnya relatif tidak diselimuti bulu. Kadang-kadang para saksi mendengar suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya.

Legenda Orang pendek mulai terdengar sejak awal abad 20. Pada tanggal 21 Agustus 1915, Edward Jacobson menemukan sekumpulan jejak misterius di tepi danau Bento, di tenggara gunung Kerinci, Propinsi Jambi. Pemandunya yang bernama Mat Getoep mengatakan bahwa jejak sepanjang 5 inci tersebut adalah milik Orang Pendek.Luar biasanya, walaupun Orang Pendek umumnya berhabitat di Kerinci, propinsi jambi, namun penampakan makhluk ini terjadi di hampir seluruh Sumatera.

Pada tahun 1995 ketika gempa besar melanda Liwa, Lampung, beberapa penduduk lokal menyampaikan kepada para pekerja asing bahwa mereka menyaksikan Orang Pendek keluar dari hutan, mungkin takut akibat gempa besar tersebut.Para peneliti kemudian mulai mendapat kemajuan ketika pada tahun 2001, sekelompok tim ekspedisi amatir dari Inggris yang dipimpin oleh Adam Davies menemukan sekumpulan jejak yang dipercaya milik Orang pendek.

Ini Dia Suku Teraneh di Dunia

Ini Dia Suku Teraneh di Dunia

Banyak sekali suku-suku yang ada di dunia ini dan masing-masing mempunyai kebudayaan nya sendiri. Suku Korowai mempunyai populasi 3.000 orang ini adalah merupakan salah satu suku paling aneh di dunia.

Suku ini ada di Papua Nugini dan kalau melihat foto-foto dibawah ini dan membaca artikel ini, dijamin anda tidak akan mau tinggal bertetangga dengan suku ini. Kecuali anda juga Suku Korowai sendiri. Budaya suku Korowai ini masih terbelakang karena mereka masih tetap terisolasi dari peradaban modern. Bahkan suku iini juga ada yang kanibal alias memakan daging manusia.

 
Mereka membangun rumah mereka di atas pohon-pohon yang sangat tinggai agar selamat dari serangan binatang.

Foto-foto dibawah ini memperlihatkan bagaimana mereka membangun rumah mereka dan juga tradisi-tradisi aneh suku Korowai tersebut.

Suku-Suku di Indonesia



 
Suku Aceh di NAD : Banda Aceh, Aceh Besar
Suku Alas di NAD : Aceh Tenggara
Suku Alordi NTT : Kabupaten Alor
Suku Ambon di Maluku : Kota Ambon
Suku Ampana, Sulawesi Tengah
Suku Anak Dalam (Anak Rimbo) di Jambi
Suku Aneuk Jamee di NAD : Aceh Selatan, Aceh Barat Daya
Suku Arab-Indonesia
Suku Aru di Maluku : Kepulauan Aru
Suku Asmat di Papua

Suku Bali di Bali terdiri :
Suku Bali Majapahit di sebagian besar Pulau Bali
Suku Bali Aga di Karangasem dan Kintamani
Suku Balantak di di Sulawesi Tengah
Suku Banggai di Sulawesi Tengah : Kabupaten Banggai Kepulauan
Suku Baduy di Banten
Suku Bajau di Kalimantan Timur
Suku Bangka di Bangka Belitung
Suku Banjar di Kalimantan Selatan
Suku Batak di Sumatera Utara terdiri :
Suku Karo Kabupaten Karo
Suku Mandailing di Mandailing Natal
Suku Angkola di Tapanuli Selatan
Suku Toba di Toba Samosir
Suku Pakpak di Pakpak Bharat
Suku Simalungun di Kabupaten Simalungun
Suku Batin di Jambi
Suku Bawean di Jawa Timur : Gresik
Suku Belitung di Bangka Belitung
Suku Bentong, Sulawesi Selatan
Suku Berau di Kalimantan Timur : Kabupaten Berau
Suku Betawi di Jakarta
Suku Bima NTB : Kota Bima
Suku Boti, Timor Tengah Selatan
Suku Bolang Mongondow di Sulawesi Utara : Kabupaten Bolaang Mongondow
Suku Bugis di Sulawesi Selatan
Orang Bugis Pagatan, di Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalsel
Suku Bungku di Sulawesi Tengah : Kabupaten Morowali
Suku Buru di Maluku : Kabupaten Buru
Suku Buol di Sulawesi Tengah : Kabupaten Buol
Suku Buton di Sulawesi Tenggara : Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau
Suku Bonai di Riau : Kabupaten Rokan Hilir


Suku Damal di Mimika
Suku Dampeles, Sulawesi Tengah
Suku Dani, Lembah Baliem, Papua
Suku Dayak terdiri :
Suku Punan, Kalimantan Tengah
Suku Kanayatn di Kalimantan Barat
Suku Ibandi Kalimantan Barat
Suku Mualang di Kalimantan Barat : Sekadau, Sintang
Suku Bidayuh di Kalimantan Barat : Sanggau
Suku Mali di Kalimantan Barat
Suku Seberuang di Kalimantan Barat : Sintang
Suku Sekujam di Kalimantan Barat : Sintang
Suku Sekubang di Kalimantan Barat : Sintang
Suku Ketungau di Kalimantan Barat
Suku Desa di Kalimantan Barat
Suku Kantuk di Kalimantan Barat
Suku Ot Danum atau Dohoi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
Suku Limbai di Kalimantan Barat
Suku Kebahan di Kalimantan Barat
Suku Pawan di Kalimantan Barat
Suku Tebidah di Kalimantan Barat
Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan Barito Kuala
Orang Barangas di Kalimantan Selatan Barito Kuala
Suku Bukit di Kalimantan Selatan
Orang Dayak Pitap di Awayan, Balangan, Kalsel
Suku Dayak Hulu Banyu di Kalimantan Selatan
Suku Dayak Balangan di Kalimantan Selatan
Suku Dusun Deyah di Kalimantan Selatan : Tabalong
Suku Ngaju di Kalimantan Tengah : Kabupaten Kapuas
Suku Siang Murung di Kalimantan Tengah : Murung Raya
Suku Bara Dia di Kalimantan Tengah : Barito Selatan
Suku Ot Danum di Kalimantan Tengah
Suku Lawangan di Kalimantan Tengah
Suku Dayak Bawo di Kalimantan Tengah : Barito Selatan
Suku Tunjung, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
Suku Benuaq, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
Suku Bentian, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
Suku Bukat, Kutai Barat
Suku Busang, Kutai Barat
Suku Ohong, Kutai Barat
Suku Kayan, Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
Suku Bahau, Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
Suku Penihing, Kutai Barat, rumpun Punan
Suku Punan, Kutai Barat, rumpun Punan
Suku Modang, Kutai Timur, rumpun Punan
Suku Basap, Bontang-Kutai Timur
Suku Ahe, Kabupaten Berau
Suku Tagol, Malinau, rumpun Murut
Suku Brusu, Malinau, rumpun Murut
Suku Kenyah, Malinau, rumpun Apo Kayan
Suku Lundayeh, Malinau
Suku Pasir di Kalimantan Timur : Kabupaten Pasir
Suku Dusun di Kalimantan Tengah
Suku Maanyan di Kalimantan Tengah : Barito Timur
Orang Maanyan Paju Sapuluh
Orang Maanyan Paju Epat
Orang Maanyan Dayu
Orang Maanyan Paku
Orang Maanyan Benua Lima Maanyan Paju Lima
Orang Dayak Warukin di Tanta, Tabalong, Kalsel
Suku Samihim, Pamukan Utara, Kotabaru, Kalsel
Suku Dompu NTB : Kabupaten Dompu
Suku Donggo, Bima
Suku Duri di Sulawesi Selatan

E
Suku Eropa-Indonesia (orang Indo atau peranakan Eropa-Indonesia)

F
Suku Flores di NTT : Flores Timur

G
Suku Gayo di NAD : Gayo Lues Aceh Tengah Bener Meriah
Suku Gorontalo di Gorontalo : Kota Gorontalo
Suku Gumai di Sumatera Selatan : Lahat
Suku Komering di Sumatera Selatan : Baturaja
Suku Semendo di Sumatera Selatan : Muara Enim
Suku Lintang di Sumatera Selatan : Lahat

I
Suku India-Indonesia

J
Suku Banten di Banten
Suku Cirebon di Jawa Barat : Kota Cirebon
Suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur
Suku Tengger di Jawa Timur
Suku Osing di Jawa Timur : Banyuwangi
Orang Samin di Jawa Tengah : Purwodadi
Suku Melayu Jambi di Jambi : Kota Jambi

K
Suku Kaili di Sulawesi Tengah : Kota Palu
Suku Kaur di Bengkulu : Kabupaten Kaur
Suku Kayu Agung di Sumatera Selatan
Suku Kerinci di Jambi : Kabupaten Kerinci
Suku Komering di Sumatera Selatan : Kabupaten Ogan Komering Ilir
Suku Konjo Pegunungan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
Suku Konjo Pesisir, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan
Suku Kubu di Jambi dan Sumatera Selatan
Suku Kulawi di Sulawesi Tengah
Suku Kutai di Kalimantan Timur : Kutai Kartanegara
Suku Kluet di NAD : Aceh Selatan
Suku Krui di Lampung

L
Suku Laut, Kepulauan Riau
Suku Lampung di Lampung
Suku Lematang di Sumatera Selatan
Suku Lembak, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu
Suku Lintang, Sumatera Selatan
Suku Lom, Bangka Belitung
Suku Lore, Sulawesi Tengah
Suku Lubu, daerah perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Barat
Suku Karo Sumatera Utara

M
Suku Madura di Jawa Timur
Suku Makassar di Sulawesi Selatan : Kota Makassar
Suku Mamasa (Toraja Barat) di Sulawesi Barat : Kabupaten Mamasa
Suku Mandar Sulawesi Barat : Polewali Mandar
Suku Melayu
Suku Melayu Riau di Riau
Suku Melayu Tamiang di NAD : Aceh Tamiang
Suku Mentawai di Sumatera Barat : Kabupaten Kepulauan Mentawai
Suku Minahasa di Sulawesi Utara : Kabupaten Minahasa terdiri 9 subetnik :
Suku Babontehu
Suku Bantik
Suku Pasan Ratahan
Suku Ponosakan
Suku Tonsea
Suku Tontemboan
Suku Toulour
Suku Tonsawang
Suku Tombulu
Suku Minangkabau, Sumatera Barat
Suku Mori, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah
Suku Muko-Muko di Bengkulu : Kabupaten Mukomuko
Suku Muna di Sulawesi Tenggara : Kabupaten Muna

N
Suku Nias di Sumatera Utara : Kabupaten Nias, Nias Selatan

O
Suku Osing di Banyuwangi Jawa Timur
Suku Ogan di Sumatera Selatan

P
Suku Papua/Irian
Suku Asmat di Kabupaten Asmat
Suku Biak di Kabupaten Biak Numfor
Suku Dani, Lembah Baliem, Papua
Suku Ekagi, daerah Paniai, Abepura, Papua
Suku Amungme di Mimika
Suku Bauzi, Mamberamo hilir, Papua utara
Suku Arfak di Manokwari
Suku Kamoro di Mimika
Suku Palembang di Sumatera Selatan : Kota Palembang
Suku Pamona di Sulawesi Tengah : Kabupaten Poso
Suku Pasemah di Sumatera Selatan
Suku Pesisi di Sumatera Utara : Tapanuli Tengah
Suku Pasir di Kalimantan Timur : Kabupaten Pasir

R
Suku Rawa, Rokan Hilir, Riau
Suku Rejang di Bengkulu : Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Rejang Lebong
Suku Rote di NTT : Kabupaten Rote Ndao

S
Suku Saluan di Sulawesi Tengah
Suku Sambas (Melayu Sambas) di Kalimantan Barat : Kabupaten Sambas
Suku Sangir di Sulawesi Utara : Kepulauan Sangihe
Suku Sasak di NTB, Lombok
Suku Sekak Bangka
Suku Sekayu di Sumatera Selatan
Suku Semendo di Bengkulu
Suku Serawai di Bengkulu: Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Seluma
Suku Simeulue di NAD : Kabupaten Simeulue
Suku Sigulai di NAD : Kabupaten Simeulue bagian utara
Suku Sumbawa Di NTB : Kabupaten Sumbawa
Suku Sumba di NTT : Sumba Barat, Sumba Timur
Suku Sunda di Jawa Barat

T
Suku Talaud di Sulawesi Utara : Kepulauan Talaud
Suku Talang Mamak di Riau : Indragiri Hulu
Suku Tamiang di Aceh : Kabupaten Aceh Tamiang
Suku Tengger di Jawa Timur Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo lereng G. Bromo
Suku Ternate di Maluku Utara : Kota Ternate
Suku Tidore di Maluku Utara : Kota Tidore
Suku Timor di NTT, Kota Kupang
Suku Tionghoa-Indonesia
Orang Cina Parit di Pelaihari, Tanah Laut, Kalsel
Suku Tojo di Sulawesi Tengah : Kabupaten Tojo Una-Una
Suku Toraja di Sulawesi Selatan : Tana Toraja
Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara : Kendari
Suku Toli Toli di Sulawesi Tengah : Kabupaten Toli-Toli
Suku Tomini di Sulawesi Tengah : Kabupaten Parigi Moutong

U
Suku Una-una di Sulawesi Tengah : Kabupaten Tojo Una-Una

W
Suku Wolio di Sulawesi Tenggara: Buton



Translate